Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance
“Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away,
you’ll shatter...”
[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan
tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]
Butterfly Chapter 4
“Karena aku tidak terbiasa melakukan kontak fisik
dengan laki-laki, jantungku terus meledak-ledak dan malah menyiksa diriku
sendiri. Aku bukan seorang Murakami Mayu yang mudah bergaul didunia nyata.Ini
semua sangat sulit. Kumohon hentikan.”
Baru saja aku meletakkan sepatu ke rak, tiba-tiba saja
diluar hujan turun dengan derasnya. Ah, benar. Jaketku masih ada pada gadis itu. Lagi-lagi dia bersin,
tak tahan dengan udara dingin. Dasar, sudah tahu musim gugur masih saja pakai
pakaian tipis.
Sore ini pikiranku sungguh
lega. Pertanyaan-pertanyaan bodoh yang terus menghujam otakku terjawab sudah.
Takahashi Akari adalah seorang gadis yang baik, hanya saja kemalangan
menimpanya. Jika mengingat wajah merah padam gadis itu tadi seketika hendak
membuatku tergelak. Aku sukses membuatnya salah tingkah hanya dengan
sentuhan-sentuhan kecil. Mata bulatnya tidak bisa berbohong. Gadis itu lugu
sekali.
Usai menyalakan lampu kamar,
aku duduk dipinggiran kasur sambil mengecek ponselku. Ah benar, ponsel gadis
itu rusak. Kulongokkan kepala, menampaki kamar atas tetangga seberang melewati
jendela. Gadis itu tidak ada disana juga. Sedang mandi, kah? Aku jadi ingat
kejadian kemarin. Entah dia itu sangat bodoh atau apa hingga lupa menutup gorden
saat ganti baju. Dan parahnya dia baru sadar kalau aku sedang melihatnya saat hampir
selesai melepas baju.
Gadis mungil yang lugu, bodoh,
ceroboh, dan kadang sok dewasa. Ah, kadang sok manis dan imut juga. Takahashi
Akari, apa lagi yang bisa kuketahui darimu? Kau bahkan lebih menarik dari yang
sebelumnya. Kuharap skenario pacaran kita bisa memusnahkan gosip lesbianmu itu.
***
“Boleh aku tidur disini?” Ai
muncul dari balik pintu dengan bantalnya. Setelah melihat anggukanku, dia
langsung melompat dan mengatur posisi disampingku. “Aku tidak suka tidur
sendirian kalau sedang hujan petir seperti ini.”
“Tanpa diberitahu lebih lanjut
akupun sudah tahu,” jawabku malas. “Oneechan, boleh pinjam ponselmu?”
“Mau apa?”
“Mengecek twitterku sebentar.”
“Pasti mau chatting dengan
anak tetangga seberang, kan?” Ai tersenyum penuh arti.
“Bukan, aku mau lihat preview
Big Bang di show hari ini. Ayolah, Oneechan pinjamkan ponselmu...”
“Hei... mana mungkin cuma
itu?” goda Ai. Namun setelahnya ia menyerahkan ponselnya juga.
Segera aku log in twitter,
melihat-lihat timeline terbaru.
“Sejak kapan kau dekat
dengannya?” Ai bertanya lagi.
Aku mendesah panjang.
Takahashi Ai ayolah, aku lelah dengan semua pertanyaanmu yang menjurus tentang
hubunganku dan Jungkook. Sejak tadi sore saat mengantar ponselku ke sevice
center dia sudah mulai mengorek-ngorek informasi dariku. Tapi aku berhasil
selamat dengan melemparkan pertanyaan padanya yang dijawab dengan cerita super
panjang tentang hidup seorang gadis 21 tahun yang baru memulai sebuah hubungan
dengan seorang Chikano Tatsuya. Bahkan sampai malam ini sepertinya dia belum
baikan juga dengannya.
“Hei, tadi sore kau belum
menjawab pertanyaanku,” Ai semakin menuntut.
Aku mendengus. “Sejak negara
api menyerang. Lalu apa?”
“Eh, kau ini bilang apa?
Kapan? Ayo ceritakan padaku!” Ai terlihat antusias.
“Bukan urusanmu,” jawabku cuek
sambil mengetikkan sesuatu dikolom direct message. Ternyata selama ponselku
rusak anak itu telah mengirim banyak sekali pesan.
akaaaaaaari: “Knock knock,
seseorang disana?”
“Eh, tapi kenapa ekspresimu
terlihat biasa sekali? Kau tidak senang punya pacar yang tampan dan tinggi
seperti itu?” Ai terus bertanya.
Aku menatapnya lama, hendak
mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Kembali fokus kualihkan ke ponsel Ai. Masih
belum dibalas. Mungkin sebentar lagi. Jungkook tidak mungkin tertidur dijam
seperti ini.
“Sepertinya dia pacar
pertamamu, kan? Wah, aku tidak menyangka adikku punya pacar diusia semuda ini.
Tapi satu hal yang masih mengganjal pikiranku, bagaimana kalian bisa akrab
dalam waktu yang sangat singkat? Bukankah rumah seberang baru ditempati
beberapa hari lalu?”
“Teruslah bicara, Takahashi
Ai...” gumamku tanpa melihat Ai. Sebuah notifikasi muncul. Itu dia, Jungkook
membalas pesanku.
xxxJKook: “Jungkook disini~
Akari-chan belum tidur?”
akaaaaaaari: “Belum. Masih
mendengarkan ocehan Ai.”
xxxJKook: “Haha, seberapa
banyak yang dia dengar tadi?”
akaaaaaaari: “Entah.
Sepertinya hanya pada bagian 'Jadilah pacarku' mungkin? Yang jelas dia jadi
heboh sendiri.”
xxxJKook: “Begitukah? Hahaha.
Pokoknya jangan biarkan Ibumu sampai tahu.”
akaaaaaaari: “Kenapa?”
xxxJKook: “Karena jika Ibumu
tahu, Ibuku pun akan tahu. Koneksi Ibu-Ibu tetangga.”
akaaaaaaari: “Tapi memangnya
kenapa kalau Ibumu tahu?”
xxxJKook: “Apa yang akan dia
pikirkan jika tahu anaknya yang berpotensi punya masa depan cerah punya pacar
sekarang? Tidak, tidak. Aku tidak ingin dia jadi protektif.”
“Akari-chan, kau dengar,
tidak?” Ai menyingkirkan ponsel dari depan wajahku.
“Eh? Apa?”
Ai memberengut. “Kau, selalu
seperti itu, ya. Haruskah kuulang dari awal?”
“Eh? Tidak. Tidak perlu,” aku
menyimpan ponsel Ai dibawah bantal. “Oneechan, yang kau dengar tadi siang...”
“Hm? Apa? Jadilah pacarku,
begitu? Apa?”
“Hei, dengarkan dulu...” aku
melirik Ai sebal. “Masalah itu tolong jangan bilang pada siapapun, terlebih
Okaasan. Anggap saja pemanasan sebelum masuk SMA. Hm?”
Ai tergelak. “Pemanasan
sebelum SMA? Maksudnya apa? Kau tidak mau jadi jomblo waktu SMA nanti, makanya
kau 'latihan' punya pacar dari sekarang? Astaga adik kecilku sekarang sudah
tumbuh rupanya.”
Aku menatap Ai kesal, menyesal
atas ucapan yang keluar dari mulutku barusan.
“Eh tapi, kalau SMA nanti
ubahlah penampilanmu agar kau bisa dapat banyak teman. Lepaskan rambut panjang dan kacamatamu itu,”
ucap Ai dengan senyum meremehkan khas kakak perempuan pada adiknya.
Aku mendesah berat lalu
menyembunyikan diri sepenuhnya pada selimut. “Sudahlah. Aku lelah bicara
denganmu. Matikan lampunya.”
Terdengar Ai terkekeh.
“Baiklah, baiklah. Aku tidak akan bilang pada siapa-siapa.” Lampu pun
dipadamkan. “Selamat tidur, Akari.” Tak lama setelah itu terdengar dengkuran
halus disampingku. Astaga, orang itu cepat sekali tidurnya.
Baru saja aku hendak menutup
mata, seketika aku teringat pesan Jungkook yang belum kubalas.
akaaaaaaari: “Kata Ai dia
tidak akan bilang pada Ibu.”
xxxJKook: “Masih hidup
ternyata?”
akaaaaaaari: “Heh!”
xxxJKook: “Habisnya lama
sekali baru dibalas.”
akaaaaaaari: “Baiklah, maaf.
Kook, tentang skenario pacaran itu... bagaimana kita harus memulainya?”
xxxJKook: “Hmm... entahlah.
Kau punya ide?”
akaaaaaaari: “Besok kita
berangkat sama-sama, begitu?”
xxxJKook: “Kau punya sepeda?”
akaaaaaaari: “Punya. Kenapa?”
xxxJKook: “Besok kita naik
sepeda sama-sama.”
akaaaaaaari: “Tidak, ah.
Capek. Lebih baik naik bus saja.”
xxxJKook: “Aku yang bawa,
tenang saja. Kau hanya perlu duduk manis dibelakang.”
akaaaaaaari: “Padahal pakai
bus lebih cepat... Kalau terlambat bagaimana?”
xxxJKook: “Makanya, bangunlah
lebih pagi, gadis pemalas.”
akaaaaaaari: “Eh! Dasar tiang
tak berperasaan!”
Tidak ada pesan balasan
setelah tiga menit.
xxxJKook: “Sebentar.”
akaaaaaaari: “Kenapa?”
xxxJKook: “Tadi aku tertawa
dulu.”
akaaaaaaari: “Dasar.
Menyebalkan kau.”
xxxJKook: “Kau sendiri kurcaci
bodoh pemalas.”
akaaaaaaari: “HEH! JEON
JUNGKOOK AWAS KAU!”
Terdengar suara tawa samar
dari depan. Astaga, keras sekali anak itu tertawa.
akaaaaaaari: “Sudah larut,
jangan tertawa sekeras itu.”
xxxJKook: “Baiklah, baiklah.
Cepat tidur sekarang.”
akaaaaaaari: “Mm hmm, kau
juga. Jaljayo, Jeon Jungkook.”
xxxJKook: “Kau juga,
Akari-chan. Jalja~”
Aku tersenyum simpul saat
membaca pesan itu. Saat hendak mematikan ponsel, sebuah pesan masuk lagi.
xxxJKook: “Besok jangan lupa
pakai baju yang lebih tebal. Aku tidak mau tertular virus bersin kurcaci.”
***
“Jeon Jungkook, cepatlah!”
gadis itu menungguku didepan pagar dengan sepedanya. “Kau yang menyuruhku
bangun pagi-pagi, tapi malah aku yang menunggumu.”
Kuikat tali sepatu kiriku.
“Tunggu sebentar...”
Gadis itu cemberut. “Cepatlah.
Aku tidak ingin Ayahku melihat kita.”
Aku yang sudah selesai
berkutat dengan sepatu berlari kecil mendekati Akari. “Bicara apa, kau?”
tanyaku. Setelahnya aku duduk disepeda milik gadis itu. “Ayo naik.”
Hari ini Akari tampil dengan
rambut sepunggung yang digerai dan sweater ukuran besar. Kulit pucatnya semakin
terlihat pucat karena rambutnya yang hitam. Untung saja bibir mungilnya yang
kemerahan pudar itu tetap sama, hingga ada sedikit pemanis diwajahnya.
“Cepat naik,” perintahku
sekali lagi.
“Sudah,” jawab Akari.
“Sudah? Ringan sekali,”
gumamku, lantas mulai mengayuh pedal dan melajukan sepeda dijalan.
“Aku memang ringan, tahu.”
“Ah iya, aku lupa kalau kau
kurcaci.”
“Hei!” Gadis itu meninju-ninju
punggungku agak keras. “Berhenti memanggilku kurcaci!”
Aku mengaduh, lalu terkekeh.
“Kurcaci bodoh, jangan seperti itu atau kau akan jatuh.” Aku melajukan sepeda
lebih cepat lagi agar Akari berhenti meninjuiku.
Dan yang kuharapkan ternyata
berbuah lebih. Aku cuma ingin dia berhenti meninjuiku, tapi… tiba-tiba saja aku
merasa ada sepasang tangan mungil melingkari punggungku erat, dan setelahnya
tubuh pemilik tangan mungil itu menempel dipunggungku. “Jangan terlalu cepat...
baiklah, panggil saja aku kurcaci sesuka hatimu.”
Dasar. Padahal dia sendiri
yang bilang kontak fisik tidak diperbolehkan. Tapi apa? “Hei kurcaci...”
panggilku tanpa melambatkan laju sepeda.
“Ada apa wahai tiang
menyebalkan?”
“Kau ingin aku pelan-pelan?”
Aku merasa dia mengangguk
dipunggungku.
“Jika aku pelan-pelan, apa kau
akan tetap memelukku seperti ini?”
Punggungku serasa menghangat,
pasti karena wajah gadis itu mulai terbakar lagi karena salah tingkah. Tuhan,
kuharap aku bisa melihat wajah gadis itu sekarang. Menyenangkan sekali bisa
melihat gadis itu memperlihatkan ekspresi salah tingkahnya.
Aku berbelok keluar dari
jalanan kompleks, hingga aku tidak bisa ngebut lagi. Dan dengan kecewa aku
mengakui kalau pelukan gadis itu melonggar dan malah hilang sama sekali.
“Akari-chan.”
“Hm?”
“Pegangan atau kau akan
jatuh.”
“Tidak mau.”
“Kenapa? Bukankah kita
pacaran?”
Gadis itu terdiam lagi. Sedang
apa dia dibelakang sana? Bagaimana wajahnya?
“Pulang sekolah nanti kita
gantian,” ucapku memecah keheningan. “Kau yang bawa.”
“Eh? Mana bisa begitu!”
“Tentu saja bisa.”
“Menyebalkan,” gumam gadis
itu. “Nanti kalau jatuh bagaimana?”
“Kalau jatuh ya berarti kita
jatuh sama-sama,” jawabku diiringi tawa ringan. “Orang pacaran memang
seharusnya melakukan sesuatu bersama-sama begitu, kan?”
“Berhentilah mengatakan hal
bodoh seperti itu. Kita tidak benar-benar sedang pacaran sekarang,” Akari
membalas ucapanku dengan nada kesal.
“Baiklah, baiklah kurcaci
bodoh,” aku tertawa renyah. “Kita meluncur... pegangan!” Kulajukan sepeda yang
kami naiki lebih cepat lagi.
“Jeon Jungkook!”
Lalu tubuh mungil itu kembali
menempeli punggungku erat.
***
Aku selalu suka pagi usai
hujan dimalam harinya. Udaranya sejuk menyegarkan. Tapi karena sekarang musim
gugur, udaranya jadi terasa lebih dingin. Untunglah tadi pagi aku tidak lupa
pakai sweater.
Bocah kelebihan kalsium itu
telah banyak menggodaku pagi ini. Awas kau, Jeon Jungkook. Kalau saja Ayahku
tahu bagaimana sikapmu terhadapku, kau tidak akan terampuni olehnya.
Sekarang aku menunggu bocah
itu memarkir sepeda didepan tempat parkir. Tadi ketika kami mulai memasuki
kawasan sekolah, banyak anak yang melihat kami sambil berbisik-bisik dengan
temannya. Ada pula anak yang kedapatan sedang memotretku. Entah dia termasuk
penggemarku atau penggemar Jungkook. Yang jelas kuharap skenario pacaran
pemecah gosip lesbian yang kami rencanakan berjalan dengan baik.
“Ayo, akan aku antar kau ke
kelasmu lebih dulu,” anak itu berjalan sambil merengkuh bahuku.
Sial, sepertinya skenario ini
memberi banyak keuntungan baginya. Aku mendengus kesal. Ingin bilang kalau
sebaiknya dia jangan terlalu sering menyentuhku seperti ini. Karena masalahnya
itu jantungku…
“Akari-chan...” Mayu melongo
melihatku didepan gedung sekolah.
“Bagaimana perutmu? Kau sudah
sehat?” tanyaku.
Kini mata gadis itu beralih
pada bocah kelebihan kalsium disampingku. “Kau Jeon Jungkook, benar?”
Jungkook tersenyum tipis, lalu
mengulurkan tangannya. “Jeon Jungkook, 3-4. Senang berkenalan denganmu.”
Mayu semakin melongo
dibuatnya. “Kau... kau...” ia bahkan tak berkedip. “Akari-chan... kau?” Mayu
cepat-cepat menyambut tangan Jungkook dan menjabatnya erat diikuti ekspresi
yang... entahlah, aneh, mungkin? Tatapannya menerawang, senyumnya mengembang
lebar, tapi binar matanya terlihat kalau dia akan heboh jika Jungkook
meninggalkanku berdua dengannya nanti. Dia pasti akan mengintrogasiku sesudah
ini.
Jungkook melirik arlojinya.
“Karena temanmu disini, aku tidak perlu mengantarmu sampai ke kelas, kan?” ia
lantas melepas tangannya dari bahuku dan berlalu pergi lebih dahulu.
“Sampai jumpa istirahat
nanti,” ucapku sambil melambai.
Jungkook berbalik dan
tersenyum. Tapi kemudian dia berjalan mendekati kami lagi. “Tolong jaga gadisku
dengan baik, ya,” ucapnya pada Mayu.
Sontak saja Mayu terlihat
makin kaget. “Ga... gadisku?”
“Mm hmm, dia gadisku mulai
sekarang. Tolong, ya? Dah,” Jungkook berlalu pergi.
Jeon Jungkook, ternyata
aktingmu hebat sekali. Mungkin SMA nanti kau harus mencoba ikut klub teater.
Apa yang dia katakan tadi juga membuatku agak kaget. Aku tidak peduli bagaimana
keadaan jantungku sekarang. Yang jelas pipiku… saat kupegangi kedua pipiku… panas.
“Akari-chan! Kenapa tidak
bilang?!” Mayu mulai heboh ketika kami naik tangga menuju kelas.
“Apanya?”
“Kau pacaran dengan Jungkook,
sejak kapan?! Kenapa tidak bilang?!” tanya Mayu sekali lagi dengan volume
tinggi. Beberapa anak yang mendengar suara Mayu terlihat kaget. Misi berjalan
baik.
“Gomenne, ponselku rusak dan
masih diperbaiki jadi aku tak sempat bilang. Kau tidak marah padaku, kan?”
“Marah apanya?” mata Mayu
berkilat-kilat. Ia lantas melompat-lompat kegirangan sambil memegang bahuku.
“Kubilang juga apa! Kau cocok dengannya. Astaga, astaga... melegakan sekali.”
Suzuran tiba-tiba berjalan
mendekati kami. “Takahashi, itu benar?”
Aku mengangguk.
“Astaga, tak kusangka
seleranya serendah ini,” Suzuran memandangku kesal.
“Hei, kau bilang apa?!” Mayu
nampak lebih kesal.
Gantian, Suzuran melihat Mayu.
“Murakami, kau tidak merasa terkhianati?”
“Kenapa?” tanya Mayu.
“Bukankah kemarin-kemarin
katanya kau pacaran dengan Takahashi?”
Mayu tertawa meremehkan. “Tak
kusangka gadis yang selalu menempati peringkat pertama sepertimu percaya gosip
bodoh itu,” ujar Mayu, lantas menarik tanganku menuju kelas. “Ayo, Akari-chan.
Hari ini kau harus mentraktirku karena punya pacar tanpa izin!”
Maafkan aku Murakami Mayu,
kali ini aku harus membohongimu. “Bicara apa kau?” aku tertawa. “Yang pacaran
itu aku, tapi kenapa yang terlihat sangat senang itu kau?”
Bahkan setelah masuk kelas,
Mayu masih menanyaiku. Dia bertanya lebih dari Ai. Benar-benar gadis itu...
untung saja bel berbunyi dan tidak lama setelahnya guru masuk.
***
“Boleh duduk disini?”
Mayu dan aku menengok ke
sumber suara. Oh, bocah kelebihan kalsium itu mau makan siang bersama kami
rupanya.
“Boleh. Duduklah,” Mayu
mempersilakan.
Jungkook mengambil tempat
disampingku. Sesaat ia mengernyit melihatku.
“Apa?” tanyaku merasa risih usai
ditatap seperti itu.
Tangannya dengan lembut
melepas ikat rambutku dibelakang, dan malah mengikat poniku.
“Kenapa rambutmu diikat lagi?
Padahal tadi pagi kan digerai,”
Aku mengerjap. Anak ini sedang
apa? Jangan sampai tubuhku memanas lagi dibuatnya.
“Pasti tidak enak kalau makan
dengan poni yang hampir menyentuh mata seperti itu. Begini lebih baik, kan?”
ucapnya setelah selesai mengikat poniku.
Didepan, Mayu menatap kami
penuh arti. “Astaga, astaga... perhatian sekali. Akari-chan, carikan satu yang
seperti ini untukku,” rengeknya.
Jungkook tertawa renyah. “Tadi
kau tidak diapa-apakan oleh penggemarku, kan?”
“Bicara apa kau?” aku segera
mengalihkan pandangan dari wajahnya. “Setengah hari ini kita jadi trending
topic, tahu. Rasanya menyenangkan juga.”
“Bukankah kemarin-kemarin kita
jadi trending topic juga? Kau senang?” tanya Mayu.
“Eh, kalau yang itu beda
lagi!” Aku mengunyah makananku dengan kesal. “Memangnya siapa bocah sok PD yang
asal mengambil kesimpulan dan menyebarkan gosip semacam itu? Menyebalkan.”
Jungkook menyodorkan air
padaku. “Dia anak 3-3. Kata Takaishi dia memang suka bicara seenaknya. Seperti
anak perempuan saja.”
“Tapi syukurlah gosip tentang
kita terhapus secepat ini,” timpal Mayu.
Aku dan Jungkook berpandangan
sekilas, lalu saling mengulum senyum. Kasihan sekali gadis yang ada didepan
kami ini. Tapi untungnya dia tak menjadi satu-satunya yang tidak tahu.
***
Sore hari ini terbilang cerah,
tak seperti kemarin. Awan kelabu tidak terlihat menghinggapi langit. Matahari
masih bertengger ditempatnya. Membiaskan bayangan keemasan pada awan putih
diatas sana. Aku suka pemandangan langit yang seperti ini. Mengingatkanku pada
musim panas yang telah lampau.
“Hei, Akari-chan!” seru Jungkook
sembari membawa sepedaku ke depan gedung sekolah usai bel pulang berbunyi.
Mayu melirikku kecewa, “Kau
pulang dengannya? Wah, tidak asyik.”
“Aku akan mentraktirmu makan
lain kali. Sampai jumpa, Mayuyu-chan!” Aku melambaikan tangan, lantas berjalan
menuju Jungkook.
“Ayo naik,” ujar bocah
kelebihan kalsium itu sambil tersenyum lebar. Ada apa dengannya? Dia banyak
tersenyum hari ini.
Aku lantas mengikuti
perintahnya. Sepeda melaju meninggalkan kawasan sekolah. Untuk kali ini aku
tidak akan pegangan padanya lagi. Tapi pegangan pada tali tasnya yang ia pasang
terbalik.
“Jeon Jungkook,” panggilku.
“Hm?”
“Minggu depan kita harus sudah
putus, ya?”
“Hei, mana bisa begitu? Cepat
sekali.”
Aku menggeleng. Namun setelah
sadar dia tidak bisa melihatku, aku menambahkan, “Niat kita diawal hanya untuk
memusnahkan gosip itu, kan?”
Tiba-tiba Jungkook berhenti.
“Ada apa?”
Ia menoleh melihatku, lalu
tersenyum samar. “Aku lupa satu hal,” bocah itu lantas turun dari sepedaku.
“Sekarang giliranmu, kan?”
Aku mendongak, menatap langsung
ke matanya. “Baiklah, tapi minggu depan kita harus sudah putus, ya?”
“Mm hmm,” katanya. “Tapi
karena sekarang kita pacaran, nikmati saja dulu.” Jungkook memperlihatkan
senyum nakalnya. Astaga, bocah itu bilang apa?
Aku lalu pindah duduk ke
depan, dan Jungkook dibelakangku. Demi apa, bocah itu berat sekali. Aku bahkan
hampir tidak bisa mengayuh sepedaku sendiri. Dan benar saja, pada kayuhan
ketiga aku bisa jatuh kalau saja kaki Jungkook tidak menyangga sepeda yang kami
naiki. “Kau berat!” keluhku.
Terdengar tawa bocah itu
dibelakang. “Dasar kurcaci lemah.”
“Tiang tak berperasaan!
Benar-benar kau, Jeon Jungkook! Membiarkan seorang gadis memboncengmu...
keterlaluan!” aku mengutuk-ngutuk bocah kelebihan kalsium itu, lalu turun dari
sepeda. “Aku jalan kaki saja!”
“Hei, hei... Akari-chan!” panggil
bocah itu sambil menarik tanganku. “Kau yang bawa, tapi aku yang mengayuh
pedalnya. Kau cuma pegang kemudinya saja.”
“Ngomong apa kau? Tidak!”
tegasku sekali lagi, lalu melepas genggaman tangannya pada pergelangan
tanganku. Aku berjalan dengan langkah lebar, meninggalkan sepedaku dan bocah
itu.
“Akari-chan!” panggil Jungkook
sekali lagi.
Kuabaikan panggilan itu dan
terus berjalan dengan kesal. Dasar menyebalkan. Dia kira bisa seenaknya saja
padaku? Kupasang earphone dan kuputar lagu acak. Futari Nori no Jitensha.
Ini... lagu tentang cinta tak berbalas, kan? Aku memilih menutup mata, menghirup
oksigen banyak-banyak. Inginnya meredakan kesal tapi…
Aku tidak tahu bisa bagaimana,
tapi tiba-tiba saja tubuhku sudah berada dalam gendongan Jungkook. Anak itu
melakukannya dengan sangat cepat hingga aku tidak sempat bereaksi apa-apa. Garis
wajahnya terlihat datar, tak nampak letih karena beban tubuhku. Aku lantas
menyipitkan mata. Sayang sekali wajahnya hanyalah siluet dari sudut ini.
Matahari yang ada dibelakangnya benar-benar mengganggu pandanganku. Tapi,
melihat wajahnya dari sudut pandang seperti ini dengan latar langit keemasan
yang kusuka... Tuhan, indah sekali ciptaanmu.
Aku terdiam dalam
gendongannya. Melihat wajahnya saja sudah seperti mantra kuat yang menyihirku
agar tak bisa melakukan apapun. Kuatkan dirimu, Takahashi Akari. Jangan
tanyakan keadaan jantungku sekarang. Pikiranku sendiri saja sudah melayang
entah kemana.
Ia membawaku kembali pada
sepeda dan memboncengku seperti diawal. Sebelum mulai mengayuh, bocah itu
mengambil sebelah earphoneku dan memasang ke telinganya.
“Ini lagu apa?” tanyanya saat
sepeda mulai berjalan.
“Futari Nori no Jitensha,”
jawabku dengan suara kecil. Detak jantungku tak kunjung normal juga.
“Bersepeda berdua?”
“Mm hmm...”
“Seperti kita sekarang?”
Aku menggeleng. “Bukan. Coba
kau dengar dari awal,” ucapku, setelahnya memutar lagu itu dari awal.
Kami berdua terdiam cukup
lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mungkin aku harus segera mengakhiri
skenario ini untuk menyelamatkan jantungku.
“Ah, mungkin bagi dirimu,
hanya teman sekelas saja yang jalan pulangnya searah. Keberadaan yang seperti
angin. Yang selalu bercanda, padahal kita selalu saling bicara...” terdengar
Jungkook bersenandung. Baru kali ini aku mendengarnya bernyanyi. Suaranya indah,
jernih. Karena sedang bersepeda mungkin terdengar bergetar sedikit. Tapi… suara
seindah itu turut menciptakan harapan kecil dibenakku. Aku berharap suara itu
hanya selamanya ditujukan untukku. Hanya aku...
Takahashi Akari, hentikan!
Pikiranmu sudah terlampau jauh.
“Mengapa hari ini, cinta tak
abadi yang berputar jauh...” aku melanjutkan nyanyiannya untuk mengusir
pikiran-pikiran aneh yang mulai menyelinap masuk ke otakku.
“Ah, mungkin bagi diriku,
dirimu yang berarti, tidak menyadari apapun. Cinta tak berbalas dari belakang.”
“Ah, langit dikala senja
seperti mewarnai kota-kota. Terlalu sedih... bayangan kita berdua menjadi
satu.”
***
To be continued~
Chapter kali ini bikin salting ya>< aku sendiri
yg ngetik aja bacanya sambil guling2 bhakk...
Oh iya, karena ada yg nanya tntg si tokoh Takahashi
Akari, bayangin aja kayak Cindy Yuvia JKT48 ponian gitu kayak anak kecil ya.
Wkwkwk, tapi bukan full kayak Yupi. Sebenernya
Akari itu... Olid sendiri xD *ahelah Lid>< Anggaplah Akari itu reader-nim ya ;)
Aku mau bikin poster, tapi bingung sama muka karakter
Akarinya. Ada usul ga? Sebaiknya pake muka siapa? Haha, maaf ya buat siapapun
yang mukanya aku pinjem>< Laff~ ♥