Kamis, 14 Januari 2016

[FF] Butterfly Chapter 5

Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance


Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away, you’ll shatter...


[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]



Butterfly Chapter 5

Saat kau pergi, aku menyadari satu hal. Sesuatu disini terasa kosong. Terima kasih, kau sudah membuatku tersadar. Kau berharga untukku.”


“Eummm es krimnya enak sekali!” Mayu menggumam sambil terus menyuap es krim cokelat ke mulutnya. “Oh, Jeon. Tumben sekali kau mau mentraktir kami. Ada apa?”

Dua gadis itu menatapku antusias.

Aku menggeleng. “Memangnya perlu alasan untuk membuat teman-temanku tersenyum?”

Akari mengangkat bahu. “Yah, kita anggap saja sebagai perayaan berakhirnya semester pertama. Gomawo, Jeon Jungkook.” Mata gadis itu nampak melengkung dibalik kacamatanya. Bibir kemerahan pudar mungilnya mengulas sebingkai senyum. Selalu seperti itu, Akari tersenyum dengan bibir dan matanya.

“Kalian merayakan tahun baru dimana?” tanya Mayu. Kulihat disudut bibirnya terdapat secuil es krim cokelat.

Akari mengambil tisu dan segera mengelap sudut bibir Mayu. “Oh astaga Murakami Mayu… kira-kira apa yang akan dipikirkan anak laki-laki melihat seorang gadis makan seperti ini…”

Mayu mengangkat bahu tak mau tahu. “Siapa? Jeon Jungkook? Aku tak menganggapnya sebagai laki-laki.”

Eh? Barusan gadis itu bilang apa?

“Dia terlalu imut untuk dibilang laki-laki, bukankah begitu?” Mayu berujar sambil terkikik. Setelah itu, ia menopangkan wajahnya pada sebelah tangan yang bertumpu di meja sambil memainkan sendok es krimnya. “Lagipula, kau itu mantan pacarnya Akari.”

“Lalu kenapa?” tanyaku.

“Yah, rasanya janggal saja,” jawab Mayu sambil menaikkan alis. “Sampai sekarang aku masih bingung dengan kalian. Maksudku, biasanya kalau sepasang kekasih sudah putus, biasanya mereka akan saling menghindar satu sama lain. Kalau tidak begitu mereka akan saling mengatai, menyumpah, bertengkar atau apalah. Tapi kalian? Sudah putus tapi masih jadi teman akrab begini. Kan aneh,”

Akari sedikit melirikku dan mengulum senyum.

“Yah, kurasa kami menemukan kecocokan hanya sebagai teman. Bukankah begitu, Akari-chan?”

Yang kupanggil manggut-manggut setuju. “Justru yang lebih aneh itu kau, musim dingin begini malah pesan es krim.”

“Suka-suka dia sajalah,” timpalku.

Sejak awal kedatangan kami, café yang berada diperempatan jalan menuju sekolah kami ini memang terlihat tak mendapat banyak pengunjung. Wajar saja, letak café ini tak terlalu menonjol. Begitu pula dengan menunya, bagiku tak ada yang spesial. Hanya saja Akari dan Mayu begitu menyukai suasananya. Mereka bilang suasana di café ini mengalirkan kehangatan. Entah apa maksudnya, aku juga tidak mengerti. Yang jelas kedua gadis itu sangat menggemari tempat duduk yang berada didepan jendela seperti yang sedang kami tempati sekarang.

“Oh iya, kalian belum menjawab pertanyaanku,” Mayu berujar suatu ketika. “Kalian mau kemana libur tahun baru kali ini?”

Akari memiringkan kepala. “Libur natal, yang benar. Aku dan keluarga mau ke rumah keluarga besar Ayahku di Fukuoka. Mungkin sekalian merayakan tahun baru disana.”

“Aku sepertinya akan ke Korea,” tambahku.

Mayu tersenyum kecut. “Sepertinya cuma aku yang tidak kemana-mana.” Gadis itu lantas mengangkat bahu. “Lagipula diantara keluargaku tidak ada yang benar-benar Kristen. Eh sudahlah. Ngomong-ngomong, kalian mau melanjutkan sekolah kemana?”

Aku menatap kedua gadis didepanku bergantian. Aku buta kalau urusan memilih sekolah disini. Untuk semester ini saja rasanya sangat sulit untuk penyesuaian. Jangan suruh aku untuk memilih sekolah sekarang.

Kalau aku mau ke SMU Komatsu,” ujar Mayu tanpa ditanya, yang dengan tiba-tiba memperlihatkan tatapan ambisius.

“SMU Komatsu? Bukankah katanya standar disana tinggi sekali?” tanya Akari.

Standar yang tinggi? Boleh juga. Jika kedua gadis ini akan masuk ke sekolah itu, akan akan kesana juga.

Kepala Mayu menggeleng ke kanan dan ke kiri dengan cepat. “Bukan itu yang penting…” gadis itu lantas sedikit memajukan badannya, memelankan suara. “Seberapa pun tingginya nilaimu, kalau kau tidak lulus psyco-test, berarti kau tidak akan lolos.” Usai berkata seperti itu, Mayu memundurkan badannya kembali.

“Psyco-test? Tes kejiwaan maksudmu?” tanyaku.

“Yah, mungkin itu. Aku tidak tahu apa artinya. Tapi yang jelas, kalau sesuatu dalam dirimu memenuhi keinginan mereka, kau bisa lolos.” Mayu mengangguk mantap.

Aku beralih menatap Akari. “Kau tahu apa yang dibicarakan gadis itu?”

Akari menggeleng. “Sudahlah. Aku sendiri tidak tahu mau masuk mana.”

“Hei, mana bisa begitu?” protes Mayu. “SMA yang kau pilih akan menentukan masa depanmu.”

Hmm... begini,” Akari mengambil oksigen lewat mulut, “Misalkan saja aku punya keinginan untuk sesuatu, tetapi aku tidak mendapat izin dari Ayah, semuanya tidak berarti apa-apa. Ayah memegang kendali atas semuanya dikeluarga kami. Jadi ya… bisa dibilang masa depanku ditentukan oleh Ayah,” jelas Akari.

“Ah iya, aku lupa Ayahmu. Oh, kalau kau, Jeon?”

“Aku?” kuembuskan napas panjang sebelum bicara. “Aku tidak tahu mau kemana. Tapi sepertinya SMU Komatsu boleh juga.”

Usai membahas SMA, kedua gadis didepanku asyik berceloteh tentang nail art. Baiklah, sepertinya jadi laki-laki ditengah dua gadis tidaklah mudah. Kadang aku bingung harus menyahut apa dikala mereka membahas sesuatu yang berbau perempuan. Dan akhirnya aku cuma akan jadi obat nyamuk bagi mereka. Seperti saat menemani mereka belanja, aku yang membawakan barang belanjaan, sedang mereka asyik bicara tentang satu dan lain hal yang tidak terlalu aku mengerti. Lalu saat menemani mereka ke salon, aku dengan sabarnya menunggu perawatan yang mereka lakukan hingga tante-tante pedofil mulai menggodaku. Pokoknya jika kami bertiga, akulah yang akan jadi korban. Tapi itu tak apa, dibanding kesenangan yang aku dapatkan saat bersama Mayu dan Akari.

Sayangnya, kami bertiga harus berpisah hingga menjelang musim semi.

***

“Liburanmu bagaimana?”

Aku mengangkat bahu atas jawaban dari anak laki-laki yang sedang bicara padaku dari balkon rumahnya. Keluarga kami –kecuali Ayah– baru saja pulang hari ini, dua hari sebelum kegiatan sekolah dimulai kembali. Ayahku pulang duluan karena ada banyak pekerjaan yang harus beliau urus, sedangkan Ibu mengambil cuti untuk menemani aku dan Ai liburan. Keluarga Jungkook sepertinya sudah kembali kesini seminggu lalu.

“Lumayan... kau?” tanyaku.

Terlihat anak itu tengah mendesah berat diseberang sana. “Tidak terlalu menyenangkan...”

“Pasti karena tidak ada aku, kan?” candaku.

Jungkook tertawa kecil. “Takahashi Akari, kalau saja diluar sana tingkat percayadirimu seperti sekarang, aku yakin kau akan dapat banyak teman.”

“Biarpun begitu belum tentu aku bisa cocok dengan mereka,” bantahku.

Jungkook manggut-manggut saja. “Ah iya, aku beli sepeda untukku sendiri. Jadi sekarang aku tidak perlu memboncengmu lagi.”

Kedua sudut bibirku tertarik kebawah secara refleks usai mendengar perkataan Jungkook. “Kau sudah merdeka karena tidak perlu memboncengku tiap hari... baiklah, baiklah. Sepertinya aku cuma beban untukmu,”

“Hei, bukan begitu...” sanggah Jungkook cepat. “Aku beli sepeda bukan karena itu, tapi...”

“Tapi?”

Jungkook nampak menggaruk belakang kepalanya. “Ah sudahlah, sebaiknya aku tidak perlu mengatakan ini.”

“Apa? Katakan saja...”

“Katakan? Hmm... tapi sebelumnya berjanjilah padaku agar tidak menyembunyikan wajahmu atau berbalik kembali ke dalam. Bagaimana?”

“Mm hmm, baiklah. Jadi apa alasanmu beli sepeda?”

Jungkook berdeham pelan, tatapan matanya dialihkan ke jalan dibawah. “Karena saat aku memboncengmu, aku tidak bisa melihat sesuatu.”

“Apa?”

“Wajahmu.”

Deg... deg...
Baiklah, Jeon Jungkook. Ini curang. Aku sekarang memang tidak bisa melihat cermin, tapi aku sadar seperti apa ekspresi wajahku sekarang. Dan ini sama sekali tidak bisa dikendalikan. Semerah apakah? Begitu kentara, kah?

“Kenapa kau jarang menghubungiku selama liburan?” tanya Jungkook, yang aku yakini sekarang sedang melihatku sambil menahan tawa. Namun aku bahkan tak berani untuk hanya sekedar melempar pandangan padanya. Baiklah, sepertinya anak itu bertanya untuk mendinginkan wajahku.

“Ayahku membatasi penggunaan ponsel dengan alasan waktu keluarga,”

“Kau sepertinya anak yang patuh, ya...”

“Tidak juga,”

“Lalu kenapa kau tak mengambil ponselmu dan menghubungiku?”

“Hm?”

“Memangnya kau tidak merindukanku?”

Mataku dengan takut-takut mencuri pandang kearah Jungkook. Sebelumnya kukira ia akan melempar senyum nakal atau apalah karena sudah berhasil menggodaku. Namun ternyata tidak ada hal-hal seperti itu sekarang. Manik hitam teduhnya menatapku lembut, menungguku menjawab pertanyaannya. Aku harus jawab apa?

“Kau pasti ingin aku menjawab ‘Iya, aku merindukanmu Jeon Jungkook’. Tapi sayang sekali, jawabanku tidak,” jawabku dengan senyum penuh kemenangan.

Anak diseberang sana tersenyum kecut. “Wah sayang sekali... padahal aku sangat merindukanmu.”

Aku memaksa oksigen masuk walau tenggorokanku serasa tercekat. Kenapa anak itu bisa begitu jujur? “Hentikan itu, Jeon Jungkook,” gumamku lirih.

“Eh? Kau bilang apa?”

Aku menggeleng. “Aniya... amugeotdo.”

***

To be continued~

Chapter 5 selesai... wkwk, gimana? Jarang update soalnya aku lagi sibuk persiapan buat study tour.
Yang ini juga lebih pendek dari yang kemaren2. Posternya dibikin kapan-kapan ya~ masih gaada waktu buat itu kayaknya ><
Abisnya, aku pulang sekolah set. 5 sore, malamnya habis maghrib jam tambahan lagi. Nyampe rumah jam set.10 malam. Belom lagi ngerjain tugas sekolah, bantu2 ortu, belajar mandiri... *ahelah jadi curhatxD* Tahun ini aku UN soalnya, try outnya udah dijadwalin sama sekolah :3 jadi gabisa kalo ga belajar mandiri. Muehehe


Don’t be silent readers yeth? :*

Jumat, 08 Januari 2016

[FF] Butterfly Chapter 4

Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance


Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away, you’ll shatter...


[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]



Butterfly Chapter 4

Karena aku tidak terbiasa melakukan kontak fisik dengan laki-laki, jantungku terus meledak-ledak dan malah menyiksa diriku sendiri. Aku bukan seorang Murakami Mayu yang mudah bergaul didunia nyata.Ini semua sangat sulit. Kumohon hentikan.



Baru saja aku meletakkan sepatu ke rak, tiba-tiba saja diluar hujan turun dengan derasnya. Ah, benar. Jaketku masih ada pada gadis itu. Lagi-lagi dia bersin, tak tahan dengan udara dingin. Dasar, sudah tahu musim gugur masih saja pakai pakaian tipis.

Sore ini pikiranku sungguh lega. Pertanyaan-pertanyaan bodoh yang terus menghujam otakku terjawab sudah. Takahashi Akari adalah seorang gadis yang baik, hanya saja kemalangan menimpanya. Jika mengingat wajah merah padam gadis itu tadi seketika hendak membuatku tergelak. Aku sukses membuatnya salah tingkah hanya dengan sentuhan-sentuhan kecil. Mata bulatnya tidak bisa berbohong. Gadis itu lugu sekali.

Usai menyalakan lampu kamar, aku duduk dipinggiran kasur sambil mengecek ponselku. Ah benar, ponsel gadis itu rusak. Kulongokkan kepala, menampaki kamar atas tetangga seberang melewati jendela. Gadis itu tidak ada disana juga. Sedang mandi, kah? Aku jadi ingat kejadian kemarin. Entah dia itu sangat bodoh atau apa hingga lupa menutup gorden saat ganti baju. Dan parahnya dia baru sadar kalau aku sedang melihatnya saat hampir selesai melepas baju.

Gadis mungil yang lugu, bodoh, ceroboh, dan kadang sok dewasa. Ah, kadang sok manis dan imut juga. Takahashi Akari, apa lagi yang bisa kuketahui darimu? Kau bahkan lebih menarik dari yang sebelumnya. Kuharap skenario pacaran kita bisa memusnahkan gosip lesbianmu itu.

***

“Boleh aku tidur disini?” Ai muncul dari balik pintu dengan bantalnya. Setelah melihat anggukanku, dia langsung melompat dan mengatur posisi disampingku. “Aku tidak suka tidur sendirian kalau sedang hujan petir seperti ini.”

“Tanpa diberitahu lebih lanjut akupun sudah tahu,” jawabku malas. “Oneechan, boleh pinjam ponselmu?”

“Mau apa?”

“Mengecek twitterku sebentar.”

“Pasti mau chatting dengan anak tetangga seberang, kan?” Ai tersenyum penuh arti.

“Bukan, aku mau lihat preview Big Bang di show hari ini. Ayolah, Oneechan pinjamkan ponselmu...”

“Hei... mana mungkin cuma itu?” goda Ai. Namun setelahnya ia menyerahkan ponselnya juga.

Segera aku log in twitter, melihat-lihat timeline terbaru.

“Sejak kapan kau dekat dengannya?” Ai bertanya lagi.

Aku mendesah panjang. Takahashi Ai ayolah, aku lelah dengan semua pertanyaanmu yang menjurus tentang hubunganku dan Jungkook. Sejak tadi sore saat mengantar ponselku ke sevice center dia sudah mulai mengorek-ngorek informasi dariku. Tapi aku berhasil selamat dengan melemparkan pertanyaan padanya yang dijawab dengan cerita super panjang tentang hidup seorang gadis 21 tahun yang baru memulai sebuah hubungan dengan seorang Chikano Tatsuya. Bahkan sampai malam ini sepertinya dia belum baikan juga dengannya.

“Hei, tadi sore kau belum menjawab pertanyaanku,” Ai semakin menuntut.

Aku mendengus. “Sejak negara api menyerang. Lalu apa?”

“Eh, kau ini bilang apa? Kapan? Ayo ceritakan padaku!” Ai terlihat antusias.

“Bukan urusanmu,” jawabku cuek sambil mengetikkan sesuatu dikolom direct message. Ternyata selama ponselku rusak anak itu telah mengirim banyak sekali pesan.

akaaaaaaari: “Knock knock, seseorang disana?”

“Eh, tapi kenapa ekspresimu terlihat biasa sekali? Kau tidak senang punya pacar yang tampan dan tinggi seperti itu?” Ai terus bertanya.

Aku menatapnya lama, hendak mengatakan sesuatu tapi tidak jadi. Kembali fokus kualihkan ke ponsel Ai. Masih belum dibalas. Mungkin sebentar lagi. Jungkook tidak mungkin tertidur dijam seperti ini.

“Sepertinya dia pacar pertamamu, kan? Wah, aku tidak menyangka adikku punya pacar diusia semuda ini. Tapi satu hal yang masih mengganjal pikiranku, bagaimana kalian bisa akrab dalam waktu yang sangat singkat? Bukankah rumah seberang baru ditempati beberapa hari lalu?”

“Teruslah bicara, Takahashi Ai...” gumamku tanpa melihat Ai. Sebuah notifikasi muncul. Itu dia, Jungkook membalas pesanku.

xxxJKook: “Jungkook disini~ Akari-chan belum tidur?”
akaaaaaaari: “Belum. Masih mendengarkan ocehan Ai.”
xxxJKook: “Haha, seberapa banyak yang dia dengar tadi?”
akaaaaaaari: “Entah. Sepertinya hanya pada bagian 'Jadilah pacarku' mungkin? Yang jelas dia jadi heboh sendiri.”
xxxJKook: “Begitukah? Hahaha. Pokoknya jangan biarkan Ibumu sampai tahu.”
akaaaaaaari: “Kenapa?”
xxxJKook: “Karena jika Ibumu tahu, Ibuku pun akan tahu. Koneksi Ibu-Ibu tetangga.”
akaaaaaaari: “Tapi memangnya kenapa kalau Ibumu tahu?”
xxxJKook: “Apa yang akan dia pikirkan jika tahu anaknya yang berpotensi punya masa depan cerah punya pacar sekarang? Tidak, tidak. Aku tidak ingin dia jadi protektif.”

“Akari-chan, kau dengar, tidak?” Ai menyingkirkan ponsel dari depan wajahku.

“Eh? Apa?”

Ai memberengut. “Kau, selalu seperti itu, ya. Haruskah kuulang dari awal?”

“Eh? Tidak. Tidak perlu,” aku menyimpan ponsel Ai dibawah bantal. “Oneechan, yang kau dengar tadi siang...”

“Hm? Apa? Jadilah pacarku, begitu? Apa?”

“Hei, dengarkan dulu...” aku melirik Ai sebal. “Masalah itu tolong jangan bilang pada siapapun, terlebih Okaasan. Anggap saja pemanasan sebelum masuk SMA. Hm?”

Ai tergelak. “Pemanasan sebelum SMA? Maksudnya apa? Kau tidak mau jadi jomblo waktu SMA nanti, makanya kau 'latihan' punya pacar dari sekarang? Astaga adik kecilku sekarang sudah tumbuh rupanya.”

Aku menatap Ai kesal, menyesal atas ucapan yang keluar dari mulutku barusan.

“Eh tapi, kalau SMA nanti ubahlah penampilanmu agar kau bisa dapat banyak teman.  Lepaskan rambut panjang dan kacamatamu itu,” ucap Ai dengan senyum meremehkan khas kakak perempuan pada adiknya.

Aku mendesah berat lalu menyembunyikan diri sepenuhnya pada selimut. “Sudahlah. Aku lelah bicara denganmu. Matikan lampunya.”

Terdengar Ai terkekeh. “Baiklah, baiklah. Aku tidak akan bilang pada siapa-siapa.” Lampu pun dipadamkan. “Selamat tidur, Akari.” Tak lama setelah itu terdengar dengkuran halus disampingku. Astaga, orang itu cepat sekali tidurnya.

Baru saja aku hendak menutup mata, seketika aku teringat pesan Jungkook yang belum kubalas.

akaaaaaaari: “Kata Ai dia tidak akan bilang pada Ibu.”
xxxJKook: “Masih hidup ternyata?”
akaaaaaaari: “Heh!”
xxxJKook: “Habisnya lama sekali baru dibalas.”
akaaaaaaari: “Baiklah, maaf. Kook, tentang skenario pacaran itu... bagaimana kita harus memulainya?”
xxxJKook: “Hmm... entahlah. Kau punya ide?”
akaaaaaaari: “Besok kita berangkat sama-sama, begitu?”
xxxJKook: “Kau punya sepeda?”
akaaaaaaari: “Punya. Kenapa?”
xxxJKook: “Besok kita naik sepeda sama-sama.”
akaaaaaaari: “Tidak, ah. Capek. Lebih baik naik bus saja.”
xxxJKook: “Aku yang bawa, tenang saja. Kau hanya perlu duduk manis dibelakang.”
akaaaaaaari: “Padahal pakai bus lebih cepat... Kalau terlambat bagaimana?”
xxxJKook: “Makanya, bangunlah lebih pagi, gadis pemalas.”
akaaaaaaari: “Eh! Dasar tiang tak berperasaan!”

Tidak ada pesan balasan setelah tiga menit.

xxxJKook: “Sebentar.”
akaaaaaaari: “Kenapa?”
xxxJKook: “Tadi aku tertawa dulu.”
akaaaaaaari: “Dasar. Menyebalkan kau.”
xxxJKook: “Kau sendiri kurcaci bodoh pemalas.”
akaaaaaaari: “HEH! JEON JUNGKOOK AWAS KAU!”

Terdengar suara tawa samar dari depan. Astaga, keras sekali anak itu tertawa.

akaaaaaaari: “Sudah larut, jangan tertawa sekeras itu.”
xxxJKook: “Baiklah, baiklah. Cepat tidur sekarang.”
akaaaaaaari: “Mm hmm, kau juga. Jaljayo, Jeon Jungkook.”
xxxJKook: “Kau juga, Akari-chan. Jalja~”

Aku tersenyum simpul saat membaca pesan itu. Saat hendak mematikan ponsel, sebuah pesan masuk lagi.

xxxJKook: “Besok jangan lupa pakai baju yang lebih tebal. Aku tidak mau tertular virus bersin kurcaci.”

***

“Jeon Jungkook, cepatlah!” gadis itu menungguku didepan pagar dengan sepedanya. “Kau yang menyuruhku bangun pagi-pagi, tapi malah aku yang menunggumu.”

Kuikat tali sepatu kiriku. “Tunggu sebentar...”

Gadis itu cemberut. “Cepatlah. Aku tidak ingin Ayahku melihat kita.”

Aku yang sudah selesai berkutat dengan sepatu berlari kecil mendekati Akari. “Bicara apa, kau?” tanyaku. Setelahnya aku duduk disepeda milik gadis itu. “Ayo naik.”

Hari ini Akari tampil dengan rambut sepunggung yang digerai dan sweater ukuran besar. Kulit pucatnya semakin terlihat pucat karena rambutnya yang hitam. Untung saja bibir mungilnya yang kemerahan pudar itu tetap sama, hingga ada sedikit pemanis diwajahnya.

“Cepat naik,” perintahku sekali lagi.

“Sudah,” jawab Akari.

“Sudah? Ringan sekali,” gumamku, lantas mulai mengayuh pedal dan melajukan sepeda dijalan.

“Aku memang ringan, tahu.”

“Ah iya, aku lupa kalau kau kurcaci.”

“Hei!” Gadis itu meninju-ninju punggungku agak keras. “Berhenti memanggilku kurcaci!”

Aku mengaduh, lalu terkekeh. “Kurcaci bodoh, jangan seperti itu atau kau akan jatuh.” Aku melajukan sepeda lebih cepat lagi agar Akari berhenti meninjuiku.

Dan yang kuharapkan ternyata berbuah lebih. Aku cuma ingin dia berhenti meninjuiku, tapi… tiba-tiba saja aku merasa ada sepasang tangan mungil melingkari punggungku erat, dan setelahnya tubuh pemilik tangan mungil itu menempel dipunggungku. “Jangan terlalu cepat... baiklah, panggil saja aku kurcaci sesuka hatimu.”

Dasar. Padahal dia sendiri yang bilang kontak fisik tidak diperbolehkan. Tapi apa? “Hei kurcaci...” panggilku tanpa melambatkan laju sepeda.

“Ada apa wahai tiang menyebalkan?”

“Kau ingin aku pelan-pelan?”

Aku merasa dia mengangguk dipunggungku.

“Jika aku pelan-pelan, apa kau akan tetap memelukku seperti ini?”

Punggungku serasa menghangat, pasti karena wajah gadis itu mulai terbakar lagi karena salah tingkah. Tuhan, kuharap aku bisa melihat wajah gadis itu sekarang. Menyenangkan sekali bisa melihat gadis itu memperlihatkan ekspresi salah tingkahnya.

Aku berbelok keluar dari jalanan kompleks, hingga aku tidak bisa ngebut lagi. Dan dengan kecewa aku mengakui kalau pelukan gadis itu melonggar dan malah hilang sama sekali. “Akari-chan.”

“Hm?”

“Pegangan atau kau akan jatuh.”

“Tidak mau.”

“Kenapa? Bukankah kita pacaran?”

Gadis itu terdiam lagi. Sedang apa dia dibelakang sana? Bagaimana wajahnya?

“Pulang sekolah nanti kita gantian,” ucapku memecah keheningan. “Kau yang bawa.”

“Eh? Mana bisa begitu!”

“Tentu saja bisa.”

“Menyebalkan,” gumam gadis itu. “Nanti kalau jatuh bagaimana?”

“Kalau jatuh ya berarti kita jatuh sama-sama,” jawabku diiringi tawa ringan. “Orang pacaran memang seharusnya melakukan sesuatu bersama-sama begitu, kan?”

“Berhentilah mengatakan hal bodoh seperti itu. Kita tidak benar-benar sedang pacaran sekarang,” Akari membalas ucapanku dengan nada kesal.

“Baiklah, baiklah kurcaci bodoh,” aku tertawa renyah. “Kita meluncur... pegangan!” Kulajukan sepeda yang kami naiki lebih cepat lagi.

“Jeon Jungkook!”

Lalu tubuh mungil itu kembali menempeli punggungku erat.

***

Aku selalu suka pagi usai hujan dimalam harinya. Udaranya sejuk menyegarkan. Tapi karena sekarang musim gugur, udaranya jadi terasa lebih dingin. Untunglah tadi pagi aku tidak lupa pakai sweater.

Bocah kelebihan kalsium itu telah banyak menggodaku pagi ini. Awas kau, Jeon Jungkook. Kalau saja Ayahku tahu bagaimana sikapmu terhadapku, kau tidak akan terampuni olehnya.

Sekarang aku menunggu bocah itu memarkir sepeda didepan tempat parkir. Tadi ketika kami mulai memasuki kawasan sekolah, banyak anak yang melihat kami sambil berbisik-bisik dengan temannya. Ada pula anak yang kedapatan sedang memotretku. Entah dia termasuk penggemarku atau penggemar Jungkook. Yang jelas kuharap skenario pacaran pemecah gosip lesbian yang kami rencanakan berjalan dengan baik.

“Ayo, akan aku antar kau ke kelasmu lebih dulu,” anak itu berjalan sambil merengkuh bahuku.

Sial, sepertinya skenario ini memberi banyak keuntungan baginya. Aku mendengus kesal. Ingin bilang kalau sebaiknya dia jangan terlalu sering menyentuhku seperti ini. Karena masalahnya itu jantungku…

“Akari-chan...” Mayu melongo melihatku didepan gedung sekolah.

“Bagaimana perutmu? Kau sudah sehat?” tanyaku.

Kini mata gadis itu beralih pada bocah kelebihan kalsium disampingku. “Kau Jeon Jungkook, benar?”

Jungkook tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya. “Jeon Jungkook, 3-4. Senang berkenalan denganmu.”

Mayu semakin melongo dibuatnya. “Kau... kau...” ia bahkan tak berkedip. “Akari-chan... kau?” Mayu cepat-cepat menyambut tangan Jungkook dan menjabatnya erat diikuti ekspresi yang... entahlah, aneh, mungkin? Tatapannya menerawang, senyumnya mengembang lebar, tapi binar matanya terlihat kalau dia akan heboh jika Jungkook meninggalkanku berdua dengannya nanti. Dia pasti akan mengintrogasiku sesudah ini.

Jungkook melirik arlojinya. “Karena temanmu disini, aku tidak perlu mengantarmu sampai ke kelas, kan?” ia lantas melepas tangannya dari bahuku dan berlalu pergi lebih dahulu.

“Sampai jumpa istirahat nanti,” ucapku sambil melambai.

Jungkook berbalik dan tersenyum. Tapi kemudian dia berjalan mendekati kami lagi. “Tolong jaga gadisku dengan baik, ya,” ucapnya pada Mayu.

Sontak saja Mayu terlihat makin kaget. “Ga... gadisku?”

“Mm hmm, dia gadisku mulai sekarang. Tolong, ya? Dah,” Jungkook berlalu pergi.

Jeon Jungkook, ternyata aktingmu hebat sekali. Mungkin SMA nanti kau harus mencoba ikut klub teater. Apa yang dia katakan tadi juga membuatku agak kaget. Aku tidak peduli bagaimana keadaan jantungku sekarang. Yang jelas pipiku… saat kupegangi kedua pipiku… panas.

“Akari-chan! Kenapa tidak bilang?!” Mayu mulai heboh ketika kami naik tangga menuju kelas.

“Apanya?”

“Kau pacaran dengan Jungkook, sejak kapan?! Kenapa tidak bilang?!” tanya Mayu sekali lagi dengan volume tinggi. Beberapa anak yang mendengar suara Mayu terlihat kaget. Misi berjalan baik.

“Gomenne, ponselku rusak dan masih diperbaiki jadi aku tak sempat bilang. Kau tidak marah padaku, kan?”

“Marah apanya?” mata Mayu berkilat-kilat. Ia lantas melompat-lompat kegirangan sambil memegang bahuku. “Kubilang juga apa! Kau cocok dengannya. Astaga, astaga... melegakan sekali.”

Suzuran tiba-tiba berjalan mendekati kami. “Takahashi, itu benar?”

Aku mengangguk.

“Astaga, tak kusangka seleranya serendah ini,” Suzuran memandangku kesal.

“Hei, kau bilang apa?!” Mayu nampak lebih kesal.

Gantian, Suzuran melihat Mayu. “Murakami, kau tidak merasa terkhianati?”

“Kenapa?” tanya Mayu.

“Bukankah kemarin-kemarin katanya kau pacaran dengan Takahashi?”

Mayu tertawa meremehkan. “Tak kusangka gadis yang selalu menempati peringkat pertama sepertimu percaya gosip bodoh itu,” ujar Mayu, lantas menarik tanganku menuju kelas. “Ayo, Akari-chan. Hari ini kau harus mentraktirku karena punya pacar tanpa izin!”

Maafkan aku Murakami Mayu, kali ini aku harus membohongimu. “Bicara apa kau?” aku tertawa. “Yang pacaran itu aku, tapi kenapa yang terlihat sangat senang itu kau?”

Bahkan setelah masuk kelas, Mayu masih menanyaiku. Dia bertanya lebih dari Ai. Benar-benar gadis itu... untung saja bel berbunyi dan tidak lama setelahnya guru masuk.

***

“Boleh duduk disini?”

Mayu dan aku menengok ke sumber suara. Oh, bocah kelebihan kalsium itu mau makan siang bersama kami rupanya.

“Boleh. Duduklah,” Mayu mempersilakan.

Jungkook mengambil tempat disampingku. Sesaat ia mengernyit melihatku.

“Apa?” tanyaku merasa risih usai ditatap seperti itu.

Tangannya dengan lembut melepas ikat rambutku dibelakang, dan malah mengikat poniku.

“Kenapa rambutmu diikat lagi? Padahal tadi pagi kan digerai,”

Aku mengerjap. Anak ini sedang apa? Jangan sampai tubuhku memanas lagi dibuatnya.

“Pasti tidak enak kalau makan dengan poni yang hampir menyentuh mata seperti itu. Begini lebih baik, kan?” ucapnya setelah selesai mengikat poniku.

Didepan, Mayu menatap kami penuh arti. “Astaga, astaga... perhatian sekali. Akari-chan, carikan satu yang seperti ini untukku,” rengeknya.

Jungkook tertawa renyah. “Tadi kau tidak diapa-apakan oleh penggemarku, kan?”

“Bicara apa kau?” aku segera mengalihkan pandangan dari wajahnya. “Setengah hari ini kita jadi trending topic, tahu. Rasanya menyenangkan juga.”

“Bukankah kemarin-kemarin kita jadi trending topic juga? Kau senang?” tanya Mayu.

“Eh, kalau yang itu beda lagi!” Aku mengunyah makananku dengan kesal. “Memangnya siapa bocah sok PD yang asal mengambil kesimpulan dan menyebarkan gosip semacam itu? Menyebalkan.”

Jungkook menyodorkan air padaku. “Dia anak 3-3. Kata Takaishi dia memang suka bicara seenaknya. Seperti anak perempuan saja.”

“Tapi syukurlah gosip tentang kita terhapus secepat ini,” timpal Mayu.

Aku dan Jungkook berpandangan sekilas, lalu saling mengulum senyum. Kasihan sekali gadis yang ada didepan kami ini. Tapi untungnya dia tak menjadi satu-satunya yang tidak tahu.

***

Sore hari ini terbilang cerah, tak seperti kemarin. Awan kelabu tidak terlihat menghinggapi langit. Matahari masih bertengger ditempatnya. Membiaskan bayangan keemasan pada awan putih diatas sana. Aku suka pemandangan langit yang seperti ini. Mengingatkanku pada musim panas yang telah lampau.

“Hei, Akari-chan!” seru Jungkook sembari membawa sepedaku ke depan gedung sekolah usai bel pulang berbunyi.

Mayu melirikku kecewa, “Kau pulang dengannya? Wah, tidak asyik.”

“Aku akan mentraktirmu makan lain kali. Sampai jumpa, Mayuyu-chan!” Aku melambaikan tangan, lantas berjalan menuju Jungkook.

“Ayo naik,” ujar bocah kelebihan kalsium itu sambil tersenyum lebar. Ada apa dengannya? Dia banyak tersenyum hari ini.

Aku lantas mengikuti perintahnya. Sepeda melaju meninggalkan kawasan sekolah. Untuk kali ini aku tidak akan pegangan padanya lagi. Tapi pegangan pada tali tasnya yang ia pasang terbalik.

“Jeon Jungkook,” panggilku.

“Hm?”

“Minggu depan kita harus sudah putus, ya?”

“Hei, mana bisa begitu? Cepat sekali.”

Aku menggeleng. Namun setelah sadar dia tidak bisa melihatku, aku menambahkan, “Niat kita diawal hanya untuk memusnahkan gosip itu, kan?”

Tiba-tiba Jungkook berhenti.

“Ada apa?”

Ia menoleh melihatku, lalu tersenyum samar. “Aku lupa satu hal,” bocah itu lantas turun dari sepedaku. “Sekarang giliranmu, kan?”

Aku mendongak, menatap langsung ke matanya. “Baiklah, tapi minggu depan kita harus sudah putus, ya?”

“Mm hmm,” katanya. “Tapi karena sekarang kita pacaran, nikmati saja dulu.” Jungkook memperlihatkan senyum nakalnya. Astaga, bocah itu bilang apa?

Aku lalu pindah duduk ke depan, dan Jungkook dibelakangku. Demi apa, bocah itu berat sekali. Aku bahkan hampir tidak bisa mengayuh sepedaku sendiri. Dan benar saja, pada kayuhan ketiga aku bisa jatuh kalau saja kaki Jungkook tidak menyangga sepeda yang kami naiki. “Kau berat!” keluhku.

Terdengar tawa bocah itu dibelakang. “Dasar kurcaci lemah.”

“Tiang tak berperasaan! Benar-benar kau, Jeon Jungkook! Membiarkan seorang gadis memboncengmu... keterlaluan!” aku mengutuk-ngutuk bocah kelebihan kalsium itu, lalu turun dari sepeda. “Aku jalan kaki saja!”

“Hei, hei... Akari-chan!” panggil bocah itu sambil menarik tanganku. “Kau yang bawa, tapi aku yang mengayuh pedalnya. Kau cuma pegang kemudinya saja.”

“Ngomong apa kau? Tidak!” tegasku sekali lagi, lalu melepas genggaman tangannya pada pergelangan tanganku. Aku berjalan dengan langkah lebar, meninggalkan sepedaku dan bocah itu.

“Akari-chan!” panggil Jungkook sekali lagi.

Kuabaikan panggilan itu dan terus berjalan dengan kesal. Dasar menyebalkan. Dia kira bisa seenaknya saja padaku? Kupasang earphone dan kuputar lagu acak. Futari Nori no Jitensha. Ini... lagu tentang cinta tak berbalas, kan? Aku memilih menutup mata, menghirup oksigen banyak-banyak. Inginnya meredakan kesal tapi…

Aku tidak tahu bisa bagaimana, tapi tiba-tiba saja tubuhku sudah berada dalam gendongan Jungkook. Anak itu melakukannya dengan sangat cepat hingga aku tidak sempat bereaksi apa-apa. Garis wajahnya terlihat datar, tak nampak letih karena beban tubuhku. Aku lantas menyipitkan mata. Sayang sekali wajahnya hanyalah siluet dari sudut ini. Matahari yang ada dibelakangnya benar-benar mengganggu pandanganku. Tapi, melihat wajahnya dari sudut pandang seperti ini dengan latar langit keemasan yang kusuka... Tuhan, indah sekali ciptaanmu.

Aku terdiam dalam gendongannya. Melihat wajahnya saja sudah seperti mantra kuat yang menyihirku agar tak bisa melakukan apapun. Kuatkan dirimu, Takahashi Akari. Jangan tanyakan keadaan jantungku sekarang. Pikiranku sendiri saja sudah melayang entah kemana.

Ia membawaku kembali pada sepeda dan memboncengku seperti diawal. Sebelum mulai mengayuh, bocah itu mengambil sebelah earphoneku dan memasang ke telinganya.

“Ini lagu apa?” tanyanya saat sepeda mulai berjalan.

“Futari Nori no Jitensha,” jawabku dengan suara kecil. Detak jantungku tak kunjung normal juga.

“Bersepeda berdua?”

“Mm hmm...”

“Seperti kita sekarang?”

Aku menggeleng. “Bukan. Coba kau dengar dari awal,” ucapku, setelahnya memutar lagu itu dari awal.

Kami berdua terdiam cukup lama, sibuk dengan pikiran masing-masing. Mungkin aku harus segera mengakhiri skenario ini untuk menyelamatkan jantungku.

“Ah, mungkin bagi dirimu, hanya teman sekelas saja yang jalan pulangnya searah. Keberadaan yang seperti angin. Yang selalu bercanda, padahal kita selalu saling bicara...” terdengar Jungkook bersenandung. Baru kali ini aku mendengarnya bernyanyi. Suaranya indah, jernih. Karena sedang bersepeda mungkin terdengar bergetar sedikit. Tapi… suara seindah itu turut menciptakan harapan kecil dibenakku. Aku berharap suara itu hanya selamanya ditujukan untukku. Hanya aku...

Takahashi Akari, hentikan! Pikiranmu sudah terlampau jauh.

“Mengapa hari ini, cinta tak abadi yang berputar jauh...” aku melanjutkan nyanyiannya untuk mengusir pikiran-pikiran aneh yang mulai menyelinap masuk ke otakku.

“Ah, mungkin bagi diriku, dirimu yang berarti, tidak menyadari apapun. Cinta tak berbalas dari belakang.”

“Ah, langit dikala senja seperti mewarnai kota-kota. Terlalu sedih... bayangan kita berdua menjadi satu.”

***

To be continued~

Chapter kali ini bikin salting ya>< aku sendiri yg ngetik aja bacanya sambil guling2 bhakk...
Oh iya, karena ada yg nanya tntg si tokoh Takahashi Akari, bayangin aja kayak Cindy Yuvia JKT48 ponian gitu kayak anak kecil ya. Wkwkwk, tapi  bukan full kayak Yupi. Sebenernya Akari itu... Olid sendiri xD *ahelah Lid><  Anggaplah Akari itu reader-nim ya ;)


Aku mau bikin poster, tapi bingung sama muka karakter Akarinya. Ada usul ga? Sebaiknya pake muka siapa? Haha, maaf ya buat siapapun yang mukanya aku pinjem>< Laff~