Senin, 04 Januari 2016

[FF] Butterfly Chapter 1

Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance


Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away, you’ll shatter...


[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]



Butterfly Chapter 1

Usai menekan tombol kecil dibagian atas ponselku, layarnya tiba-tiba berubah hitam. Ini sudah larut, namun aku belum bisa tidur. Kubuang napas panjang dan kucoba membalikkan badan ke kanan, mencari posisi nyaman. Sayangnya sepasang manik beriris hitam yang mulai lelah ini belum juga bisa terpejam. Ketukan-ketukan kecil yang kubuat dengan ponsel dan ujung kepalaku juga sama sekali tidak membantu. Kemana dia seharian ini? Hanya membalas pesanku tadi pagi dengan singkat. Setelah kuberi balasan lain, dia belum muncul juga sampai sekarang. Bahkan pesan dariku belum dia baca. Dia kenapa? Baik-baik saja, kan?

Lantas terdengar suara ribut-ribut dari depan. Ada apa lagi? Sekarang bahkan keadaan disekitar tak merelakanku untuk terlelap. Dengan frustasi kutenggelamkan kepala pada bantal. Baiklah, aku harus tidur sekarang. Tapi bagaimana jika dia membalas pesanku? Ini gila. Untuk apa menunggu pesan dari seseorang yang bahkan tidak pernah dijumpai sebelumnya?

Tapi, kurasa aku bisa langsung mengenalinya jika melihat sepasang gigi kelinci itu. Juga bibir plum berwarna merah muda yang kala itu melengkungkan seulas senyum. Manis sekali... eh? Apa yang kupikirkan? Tidak. Tidak boleh mengambil kesimpulan begitu hanya dari satu foto. Sedetik... dua detik... aku memandangi foto anak laki-laki itu dan akhirnya tersenyum tipis. Astaga... apa yang kulakukan? Sejak kapan aku menghidupkan ponsel kembali dan melihat foto anak itu? Tidur! Takahashi Akari, kau harus tidur sekarang.

***

“Akari-chan!”

Perlahan, mataku serasa ditusuk cahaya matahari yang masuk lewat celah gorden. Susah payah aku mengernyit, menyesuaikan cahaya yang ada agar aku bisa melihat dengan jelas. Kukerjapkan mata beberapa kali. Lalu tampaklah sosok Ibu yang sedang berkacak pinggang dihadapanku. Beliau menyibak selimutku kasar. Aku mengerang kecil, setelahnya melirik jam weker diatas nakas dengan malas. Pukul 6.21, masih pagi. Kenapa Ibu membangunkanku pagi-pagi dihari Minggu begini?

“Kau harus memberiku penjelasan tentang lemari es yang dibiarkan terbuka semalaman!” seru Ibu dengan dagu terangkat.

Aku mengucek mata pelan. Lantas duduk tanpa melepas guling. “Okaasan... Bicara pelan-pelan...” aku kembali mengerjap beberapa kali untuk menghilangkan kantuk.

“Makanan yang dibawakan oleh Pamanmu dari Okinawa jadi busuk karena kau, tahu!”

“Tunggu... kenapa Okaasan langsung menuduhku begitu?” aku membela diri, walaupun sedikit tidak mengerti  tentang apa yang sedang dibicarakan Ibuku.

“Ha! Takahashi Akari... tidak mau mengaku, ya?” Ibu menyunggingkan senyum miring. “Aku melihat kotak susu kosong ditempat sampah. Padahal tadi malam tempat sampah didapur sudah kukosongkan sebelum tidur. Ai masih menginap dirumah temannya, dan Ayahmu habis pulang lembur tadi malam langsung tidur. Seseorang yang sedang insomnia pasti minum susu tengah malam, dan lupa menutup lemari esnya dengan rapat. Dan dirumah ini yang sering menderita insomnia hanya kau! Jadi mengaku saja,” Ibu menyilangkan tangan didada, lalu tersenyum penuh kemenangan.

Aku mengerjap. Sekali. Dua kali. Sampai akhirnya kantukku benar-benar pergi. Lantas, seakan baru teringat sesuatu, aku melempar cengiran lebar pada Ibu. “Tadi malam diluar ribut sekali. Aku jadi makin tidak bisa tidur. He... Okaasan, makanan yang kemarin dibawakan Paman itu mahal, ya?”

“Tentu saja!” seru Ibuku nyaring. Beliau menyibak gordenku penuh. Hingga kamarku yang semula redup kini dibanjiri sinar matahari pagi. “Sebagai gantinya, hari ini kau tidak boleh malas-malasan. Astaga... anak perempuan tapi hobinya tidur begini. Sekarang mandi, bersihkan kamarmu, lalu turun untuk sarapan. Setelah itu bantu aku membersihkan halaman depan, mengerti?”

Aku mengangguk asal sebelum Ibuku melangkah menuju pintu. Dan mata minusku yang malang ini menangkap bayangan anak laki-laki yang melintas berlalu dari balkon rumah seberang yang harusnya kosong lewat jendela kamarku. Apa itu tadi? “Okaasan!” teriakku nyaring. Oh, sepertinya terlampau nyaring. Mungkin bisa sampai didengar oleh para tetangga.

Tidak ada jawaban. Aku membalikkan badan kesamping. Ibuku sudah turun rupanya. “Cepatlah mandi!” balas Ibuku samar dari bawah. Jadi itu tadi apa? Tiba-tiba saja aku merasa hawa dingin merayapiku. Sudahlah. Bukan apa-apa. Pasti salah lihat. Aku bergidik, lantas segera menjepit poni, mengikat rambut, mengambil handuk dan pakaian, lalu pergi mandi.

***

Gadis itu menenggelamkan wajahnya pada bantal, lantas berteriak keras. Atmosfir malam penghujung musim panas kali ini terasa panas sekali baginya. Oh, jangan salahkan pendingin udara dikamarnya. Sebenarnya benda itu masih berfungsi dengan baik. Sesuatu dilayar laptopnya lah yang membuat gadis itu merasa kepanasan lalu berteriak. Big Bang, G-Dragon.

Takahashi Akari adalah seorang V.I.P yang tak nampak. Tidak ada poster, tidak ada album, tidak ada benda apapun yang berbau Big Bang dikamarnya. Ia sendiri bahkan tidak pernah sekalipun menonton konser boygroup yang berasal dari negeri tetangganya itu. Dilarang Ayahnya, tentu saja. Benda yang mendukung aktivitas fangirling bagi Akari hanyalah laptop dan ponselnya.  Dan sekarang gadis itu sedang menonton video musik Big Bang yang baru.

Usai puas berteriak, gadis itu mulai membuat kerusuhan di twitter. Me-retweet tweet akun-akun fansite dan fanbase, ikut menggila bersama fans-fans yang lain, menulis tweet spam... gadis itu mengeluarkan semua yang ada dipikirannya saat ini lewat kicauan. Jemarinya terlalu sibuk menari-nari diatas keyboard hingga sebuah tweet menarik perhatiannya. Sebuah balasan untuk Akari.

@xxxJKook: Menurutku dia cantik. RT @Akaaaaaaari Modelnya terlalu kurus. Terlihat seperti melayang saat berputar dengan GD Hahaha...

“Eh? Siapa ini?” gumam Akari. Jemarinya dengan lincah men-scroll down timeline pengguna @xxxJKook itu, dan ternyata mereka sudah saling follow. Dari situ ia tahu bahwa pengguna @xxxJKook adalah seorang laki-laki dari Korea. Tapi dia barusan membalas tweet Akari dengan bahasa Jepang. Sepertinya menarik juga punya teman fanboy, mengingat selama ini hampir semua teman Akari di twitter adalah fangirl. Apalagi Akari bisa dengan mudah bicara dengannya, karena orang itu sepertinya bisa bahasa Jepang.

@Akaaaaaaari: @xxxJKook Itu pikirmu sebagai fanboy -,- menurutku dia terlalu kurus.

Tak selang beberapa detik sebuah balasan datang lagi.

@xxxJKook: @Akaaaaaaari Biar kutebak, kau pasti gendut, kan?

Akari mengernyit. Balasan macam apa itu?

@Akaaaaaaari: @xxxJKook Asal saja kau.
@xxxJKook: @Akaaaaaaari Tebakanku benar?
@Akaaaaaaari: @xxxJKook Kenapa kau seyakin itu?
@xxxJKook: @Akaaaaaaari Karena tebakanku selalu benar.
@Akaaaaaaari: @xxxJKook Kau dukun?
@xxxJKook: @Akaaaaaaari Jadi tebakanku benar?
@Akaaaaaaari: @xxxJKook Maaf Tuan Dukun, tebakanmu salah.
@xxxJKook: @Akaaaaaaari Tuan Dukun hahaha, lucu sekali. ._.
@Akaaaaaaari: @xxxJKook Lalu aku harus panggi apa?
@xxxJKook: @Akaaaaaaari Kook saja.

***

Kali ini aku memperhatikan balkon rumah seberang dengan menggunakan kacamata. Tidak terlihat apa-apa disana. Tapi didalam kamar atas ada yang terlihat berbeda. Kain putih yang biasanya menutup jendela besar disana sudah diganti dengan gorden berwarna biru malam. Aku menghembuskan napas lega. Bodoh sekali jika aku berpikir ada penampakan hantu anak laki-laki pada pagi hari di rumah yang baru seminggu tidak ditempati. Sekarang aku mengerti. Rupanya ada yang baru pindahan.

“Akari-chan!” kembali Ibu memanggilku.

Aku mendengus, “Iya sebentar!”

Kuperiksa kotak masuk direct message twitter. Tidak ada. Tweetnya pun tidak diupdate, masih yang kemarin. Pesan line... ah! Dibaca! Baru saja! Aku menggigit bibir. Sekarang dia pasti sedang mengetik balasan.

“Sorry late reply. Kemarin aku sibuk. Oh iya, kau bilang rumahmu di Tokyo. Tokyo sebelah mana?” gumamku sambil membaca pesan.

Tanpa sadar aku menahan napas saat membaca pesannya tadi. Ada apa dengan alamat rumahku? Apakah dia akan mengirimkan hadiah atau sesuatu lainnya? Baru saja aku hendak membalas pesannya, tapi Ibu sudah masuk ke kamarku, lagi.

“Kenapa lama sekali? Kau sedang apa?”

Aku menyimpan ponsel kedalam saku celana training, kemudian menggeleng pelan. “Bukan apa-apa. Ah, aku sudah selesai membersihkan kamar. Jadi bisakah kita turun untuk sarapan?”

***

Setelah itu Akari tidak mendapat balasan lagi. Lelah ber-fangirling ria, gadis itu memilih menutup laptopnya dan mematikan lampu. Baru saja ia hendak memejamkan mata, ponselnya tiba-tiba bergetar halus. Ada notifikasi twitter. Kali ini bukan mention atau balasan tweet, melainkan sebuah direct messege.

xxxJKook: Kau masih bangun?

Akari dengan malas mengetikkan balasan.

Akaaaaaaari: Aku disini. Kenapa?
xxxJKook: Kau sudah mau tidur?
Akaaaaaaari: Tadinya.
xxxJKook: Maaf.
Akaaaaaaari: Sudahlah. Ada apa?
xxxJKook: Maaf tadi tiba-tiba menghilang.

Akari membalikkan badannya ke kanan. Orang ini sepertinya kesepian, batinnya. Tapi kenapa dia jadi minta maaf? Padahal menurut Akari tidak apa-apa mengakhiri sebuah percakapan kala isinya sudah tidak asyik.

Akaaaaaaari: Aku tidak mencarimu.
xxxJKook: Oh, baiklah.
Akaaaaaaari: Mm hmm.
xxxJKook: Kau tidak tanya kenapa aku tadi tiba-tiba menghilang?

Anak itu pasti benar-benar kesepian, pikir Akari. Maunya banyak sekali. Menyebalkan.

Akaaaaaaari: Baiklah. Jadi kenapa kau tiba-tiba menghilang?
xxxJKook: Aku ketiduran.

Hembusan napas keras lolos dari mulut mungil Akari. Ini sudah tengah malam dan dia harus tidur kalau tidak ingin terlambat masuk besok. Lagipula besok adalah hari pertamanya masuk sekolah setelah libur musim panas.

Akaaaaaaari: Kalau begitu lanjutkan saja tidurmu! Aku juga mau tidur!

Dengan kesal gadis itu melempar ponselnya ke bawah bantal, merapatkan selimut, lalu memejamkan mata. Hingga gadis itu menyesal karena tidak mematikan ponselnya dan benda itu terus-terusan bergetar dibawah bantal.

xxxJKook: Kau marah?
xxxJKook: Hei... kau sudah tidur?
xxxJKook: Bisakah aku meminta satu hal?
Akaaaaaaari: Apa?
xxxJKook: Kau punya LINE? Boleh aku tahu ID-mu?
Akaaaaaaari: takahashiakari1110
xxxJKook: Terima kasih.

***

Pada akhirnya kami saling bertukar foto. Hampir saja aku memblokir anak itu kalau saja tidak melihat foto profilnya. Walau anak itu menyebalkan, tapi wajahnya... yah, lumayan. Difoto itu dia terlihat mengenakan seragam sekolah berwarna oranye.  Matanya tampak seperti mata orang Korea kebanyakan, tapi tak terlalu sipit. Bibir plum yang dihiasi gigi kelinci membuat anak itu semakin manis saat tersenyum. Kulitnya putih susu. Rambut kecokelatannya panjang sampai menutup alis. Ah, dia juga punya kantung mata yang lucu. Anak itu terlalu tampan untuk diblokir.

Lalu entah sejak kapan panggilan “Takahashi-san” darinya berubah menjadi “Akari-chan”. Kami jadi lebih banyak mengetahui tentang diri masing-masing. Semakin aku mengenalnya, aku tahu kalau ternyata dia tidak semenyebalkan itu. Jeon Jungkook... ya, itu namanya. Dia orang yang asyik. Kadang aku penasaran, bagaimana dalam waktu dua minggu bisa membuat kami begitu akrab. Dan sekarang aku baru ingat kalau belum membalas pesannya ditengah-tengah mencabut rumput.  Untung saja sebentar lagi selesai.

Usai mencuci tangan, hampir saja aku masuk rumah kalau tidak mendengar seseorang sedang berseru dari luar pagar.

“Permisi!” seru orang itu sekali lagi. Rupanya yang disana ada seorang wanita cantik seusia Bibiku dengan rambut melewati bahu yang dibiarkan tergerai. Beliau nampaknya sedang membawa bungkusan persegi.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapapun. Wanita itu memanggilku? “Anda mau cari siapa?” tanyaku. Setelah kuperhatikan lagi, wanita itu terlihat familiar. Entah mengapa aku merasa pernah melihat beliau sebelumnya.

“Ah, aku mau memberikan ini,” wanita tersebut menyerahkan bungkusan ditangannya. “Kami baru saja pindah. Disana,” ia menunjuk rumah seberang dengan ibu jari.

“Ada apa?” Ibu yang baru keluar rumah menghampiriku dan wanita tadi. Setelah itu, pembicaraan dilanjutkan oleh mereka di teras.

“... ada proyek disini jadi─”

“Eomma, bagaimana menyalakan airnya?” tiba-tiba seorang anak laki-laki dengan kepala dibungkus hoodie kuning bergambar donat ikut masuk ke halaman rumahku. Dan dia bicara bahasa Korea.

“Nah, kalau yang ini putra bungsuku, Jeon Jungkook.” Wanita tadi bangkit berdiri dan menepuk bahu seseorang yang ia sebut Jungkook.

Tunggu... Jungkook? Jeon Jungkook?! Aku terbelalak. “Jeon Jungkook?” aku berusaha mengendalikan suaraku agar tidak terdengar berteriak. Benar itu dia. Meskipun dia tidak tersenyum, aku melihat jelas gigi kelincinya saat dia bicara. Dan mata itu... aku benar-benar yakin itu dia.

Anak itu melihatku dari ujung kaki sampai ujung kepala, lantas mengangguk kecil. “Tapi kau siapa?”

Eh? Dia tidak mengenaliku? Mungkin karena aku sekarang terlihat berbeda dengan yang ada difoto yang kukirim padanya. Karena difoto aku pakai gaun putih selutut untuk musim panas. Rambutku juga digerai, tidak digelung seperti sekarang. Dan sepertinya yang paling berpengaruh adalah kacamata dan poniku.

Baru saja aku hendak melepaskan kacamata, ikat dan jepit rambut yang bertengger dikepalaku, kalau saja Ibunya tidak bicara lebih dahulu. Dia tetangga baru kita,” Ibunya menjawab pertanyaan Jungkook yang seharusnya kujawab sendiri.

“Ah? Dia yang tadi teriak-teriak? Isanghae jinjja,” ucap Jungkook dengan bahasa Korea.

“Jeon Jungkook,” tegur Ibunya.

“Jangan kira aku tidak mengerti. Barusan kau mengataiku aneh, kan?” aku bersungut jengkel. Apa-apaan ini? Baru pertemuan pertama sudah mengataiku aneh. Baiklah, Jeon Jungkook... jadi seperti ini sifat aslimu? “Yakk! Neo jeongmal-”

“Memangnya kenapa kalau kau bisa bahasa Korea?” ia menatapku datar, tapi aku melihat jelas sebelum ini dia menggigit bibir.

Aku tak jadi melanjutkan kata-kataku.

“Dan kau, gadis kecil, tidak sopan bicara pada seseorang yang lebih tua dengan gaya seperti itu.” Jungkook tersenyum penuh kemenangan.

Ibuku melirik kami semua. “Kalian bicara apa? Apa disini cuma aku yang tidak mengerti?”

“Ah... Takahashi-san, gomen nasai. Hanya pertengkaran anak-anak,”

“Aku bukan anak-anak!” Seruku dan Jungkook hampir bersamaan. Aku melirik anak itu sengit. Lalu dengan kesal mengambil langkah masuk rumah. Sebelum benar-benar masuk, aku berbalik dengan cepat dan kembali berbicara bahasa Jepang. “Dan asal kau tahu saja, aku sudah SMP tahun ke tiga!”

***

Gadis itu marah. Gadis pendek itu marah padaku sekarang. Jelas sekali aku melihat dia mengambil langkah lebar saat masuk rumahnya. Oh, jangan lupakan teriakannya juga. Tapi, tentu dia punya alasan melakukan itu. Apa karena aku yang mengiranya lebih muda karena dia pendek? Lagipula wajahnya juga kecil sekali. Kalau saja dia tidak bilang kalau kami seumuran, pasti sampai sekarang aku masih mengiranya anak SD.

“Dia lucu, ya?”

“Mm? Siapa?”

Setelah memastikan air bisa keluar dari keran, Ibu berbalik. “Gadis tetangga seberang. Kau dengar tidak suaranya tadi?”

Aku mengangkat bahu, lalu kembali mengelap meja dapur.

“Kau mengenalnya?”

“Tidak.”

“Aneh... dia sepertinya mengenalmu,” Ibu memiringkan kepala, kemudian melirik jam dinding yang masih tergeletak diatas meja. “Ayahmu lama sekali. Ibu mau menyusul Ayahmu sebentar. Kau tinggal disini, ya.”

Aku mendengus. Pergi saja, memang aku masih anak-anak? Ah benar, Ibu tak pernah tak menganggapku sebagai  anak-anak. Sepeninggal Ibu, aku memilih naik ke kamarku. Masih berantakan, sangat. Keadaan yang sama juga terjadi diruangan-ruangan lain. Kepalaku pusing. Ah, aku benci pindah. Kenapa Ayahku harus menerima proyek disini dan meninggalkan Seoul? Bukannya aku tidak suka Jepang, tapi ya... setidaknya beliau mempertimbangkan keputusannya mengingat semester depan aku harus melangsungkan ujian.

Tunggu... ini Jepang. Apa disini ada ujian juga? Entahlah. Aku tidak tahu harus bertanya pada siapa sebelum aku ingat gadis fangirl Jepang yang belum lama ini kukenal. Benar, gadis itu. Gadis itu belum membalas pesanku pagi ini, padahal dia sudah membacanya. Jadi dia mau melakukan hal yang sama padaku? Ah, kemarin aku lupa bilang kalau sedang pindahan. Dan tadi malam aku terlalu lelah untuk sekedar mengirim pesan padanya.

Aku harap aku bisa bertemu dengannya hari ini.

***

Ponsel yang kuletakkan didalam saku bergetar halus.

Kook: Hei, kau marah?

Bunyi pesan dari Jungkook itu seketika membuatku mendengus. Aku memilih mengabaikan pesan itu dan kembali fokus memotong sayur. Dua menit kemudian ponselku bergetar lagi.

Kook: Cuma dibaca?

Aku mengangkat bahu. Lantas kembali mengabaikan pesan itu. Usai kupotong, sayuran itu kucuci.

Kook: Baiklah-baiklah... aku minta maaf karena tidak memberimu kabar kemarin.

Aku berdiri didepan wastafel yang kerannya masih terbuka sehabis mencuci sayur tadi. Tanpa sadar aku mengembangkan senyum miring. “Cuma minta maaf karena itu? Enak saja,” aku bergumam tanpa membalas pesan Jungkook.

“Kau kenapa? Masih kesal karena tadi?” Ibu mematikan keran air. “Akhir-akhir ini aku sering melihatmu sibuk dengan ponsel. Tidak, bukan begitu maksudku. Kau dari dulu memang selalu sibuk dengan ponsel. Tapi yang aku tahu kau tidak benar-benar berkomunikasi dengan seseorang. Tapi sekarang kenapa? Aku sering melihat emosimu tiba-tiba berubah saat kau mengetik.” Ibu lalu memajukan badannya dan berbisik, “Kau punya pacar?”

Aku menggeleng dengan cepat. Ah, tidak... itu tadi terlalu cepat. Kentara sekali...

Sekarang Ibuku menyilangkan kedua tangan didepan dada. Beliau mendesah berat. “Siapa dia?”

Aku menghendikkan bahu, lalu berbalik seolah sedang mencari sesuatu dilaci dapur.

“Akari-chan?” panggil Ibuku dengan nada menggoda. “Kalau kau tidak mau jawab berarti aku yang akan mencari tahu sendiri.”

Kumohon Bu, hentikan memanggilku dengan nada ditarik-tarik seperti itu. Dengan malas aku berbalik dan tersenyum kecut, “Pertama, ya. Aku masih kesal karena tadi. Kedua, tidak. Aku tidak punya pacar. Dia hanya teman. Benar-benar hanya teman.”

“Kadang, aku melihatmu tersenyum sendiri sambil membaca pesan. Kadang kau juga tiba-tiba mendengus kesal. Kemarin, kulihat kau selalu mengecek ponselmu tiap lima menit, seperti menunggu seseorang. Dan sekarang, kau terlihat seperti mengabaikan orang itu. Biar kutebak, kemarin 'dia' pasti tidak memberimu kabar seharian, lalu sekarang kau sedang mencoba membalasnya. Begitu, kan?”

“Wow wow... Okaasan, tunggu─”

“Di jamanku saat seusiamu memang tidak ada ponsel. Tapi aku tidak bodoh, gadis muda. Kau ketahuan.”

Aku mengembuskan napas panjang. “Bukan begitu. Okaasan tidak mengerti-”

“Jadi cinta tak berbalas, ya? Astaga... malang sekali putriku ini,” Ibu tertawa kecil.

“Okaasan, tidak lucu.” Wajahku berubah masam. “Sekarang sayurnya diapakan?”

“Kemarikan,” Ibu mengambil sayur yang telah dicuci dariku dan memasukkannya ke dalam panci beserta bahan yang lain. “Ah iya, tadi kenapa ekspresimu begitu waktu -anak tetangga yang namanya siapa itu- memperkenalkan namanya?”

“Jeon Jungkook,”

“Ya, benar itu. Jeon Jungkook. Kenapa wajahmu tiba-tiba kaget waktu mendengar namanya?”

“Aku cuma kaget tahu-tahu punya tetangga orang Korea. Okaasan tahu kan kalau aku sangat suka G-Dragon dan K-Culture?”

Ibuku mengangguk mantap. “Aku sangat tahu itu. Tidak heran kau bisa bahasa Korea sedikit-sedikit. Tapi kenapa kalian tadi terlihat tidak suka satu sama lain?”

“Dia bilang aku gadis aneh yang suka teriak-teriak. Lagipula dia menganggapku anak kecil, dan dia bilang aku harus sopan padanya. Padahal kami seumuran.” Aku memperbaiki letak kuncir rambutku yang mulai kendur.

Ibuku tertawa lagi. “Kalau melihat badanmu semua orang pasti berpikir kau anak SD.”

“Okaasan!”

Tawa Ibu terdengar lebih nyaring. “Tubuhmu tenggalam dalam sweater yang kau pakai. Makanya badanmu nampak lebih mungil dari biasanya. Lagipula wajahmu kecil, sedang kacamatamu besar. Entah dia menganggapmu apa kalau melihatmu dengan poni. Benar-benar terlihat seperti anak kecil.”

Aku melepas jepit rambut dan merapikan poni. “Memangnya apa yang salah dengan poniku?”

“Eh? Tidak...” Ibu membuka tutup panci, mengambil sedikit kuahnya dengan sendok dan meneteskannya ke telapak tangan, lantas menyicipinya. Setelah itu Ibu terlihat mengangguk-angguk dan menambahkan sedikit garam. “Ngomong-ngomong, kau tahu dimana kalau dia seumuran denganmu?”

Aku mengerjap. “Hanya asal tebak saja.”

***

LINE
Kook: [9:15 AM] Hei, kau marah?
Kook: [9:20 AM] Cuma dibaca?
Kook: [9:23 AM] Baiklah-baiklah... aku minta maaf karena tidak memberimu kabar kemarin.

Direct Message Twitter
xxxJKook: [10:35 AM] “Hei...”
xxxJKook: [10:35 AM] “Kalau kau bisa baca pesannya kenapa tidak dibalas?”
xxxJKook: [10:36 AM] “Sebenarnya kemarin keluargaku sibuk pindah. Ayahku dipindahtugaskan lagi ke Tokyo. Iya, sekarang aku benar-benar di Tokyo. Makanya tadi aku tanya dimana rumahmu. Siapa tahu kita bisa bertemu. Sekarang balas pesanku, ya?”
xxxJKook: [10:37 AM] “Ayolah... aku melewatkan pagi yang buruk tadi. Setidaknya dengan kau balas pesanku tidak membuat hariku jadi semakin buruk.”
xxxJKook: [10:40 AM] “Kau tidak apa-apa, kan? Masih marah setelah kujelaskan semuanya?”

Aku menatap langit-langit kamar, lantas mengembuskan napas berat. Kubalikkan badan ke kiri. Menatap lurus ke balik jendela besar yang menghadap ke depan balkon. Dia disana... anak itu ada disana. Duduk dibalkon seberang dengan gusar. Sesekali ia menatap jalanan dibawah. Lalu fokus ke ponselnya. Sedang apa dia? Saking khawatirnya padaku kah hingga ia lupa kewajibannya sebagai seorang fanboy?  Saat tadi kulihat twitternya lagi, tak ada satupun tweet baru. Bahkan retweet-an dari akun fanbase juga tidak ada. Bodoh sekali. Dia bilang apa? Dia sekarang benar-benar di Tokyo dan tanya alamat rumahku karena apa? Siapa tahu bisa bertemu? Bodoh. Kau sudah bertemu denganku, bodoh.

Kulirik pesan darinya sekali lagi. “Dia bilang apa? Dia melewatkan pagi yang buruk? Karena aku, kah? Hah, jadi dia merasa buruk setelah mengataiku? Baiklah, kita lihat bagaimana respon anak ini kalau aku membalas pesannya.”

Akaaaaaaari: “Hai.”

Kulihat anak tetangga seberang terlonjak. Lihat, kan? Kubilang juga apa...

Akaaaaaaari: “Aku tidak marah. Hanya sedang mencoba membalasmu.”
xxxJKook: “Konyol sekali. Sekarang jawab pertanyaanku.”
Akaaaaaaari: “Yang mana?”
xxxJKook: “Scroll up.”
Akaaaaaaari: “Rumahku? Kau tidak perlu tahu.”
xxxJKook: “Kenapa?”
Akaaaaaaari: “Kenapa? Kau tanya kenapa? Haha, memangnya kau mau datang ke rumahku dengan mawar dan cokelat?”

Aku tertawa kecil saat membalas pesannya. Kulirik dia dibalkon seberang, ikut tertawa karena pesanku. Astaga gigi kelinci itu... andai saja aku bisa melihatnya dalam jarak yang lebih dekat. Eh? Astaga apa yang kupikirkan? Takahashi Akari sadarlah, nyatanya anak itu tak sebaik di sosial media.

xxxJKook: “Haha, tidak. Mawar dan cokelat itu untuk orang pacaran. Jungkook masih anak kecil, Oneechan.”

“Eh? Oneechan dia bilang?” Aku berusaha menahan tawa.

Akaaaaaaari: “Oneechan? LOL. Jika kau melihatku secara langsung aku pastikan kau tidak akan memanggilku begitu.”
xxxJKook: “Kenapa?”
Akaaaaaaari: “Karena aku imut.”
xxxJKook: “Benarkah?”
Akaaaaaaari: “Iyaaa~”
xxxJKook: “Foto?”

Aku mendengus.

Akaaaaaaari: “Nikmati saja foto yang sudah kukirim waktu itu.”
xxxJKook: “Kau ingin aku menikmatinya sebagai fanboy?”
Akaaaaaaari: “Eh bukan begitu!!!”
xxxJKook: “Hahaha... bercanda. Kenapa tidak mau memberiku foto lagi? Ayolaaah~”
Akaaaaaaari: “Tidak, kecuali kau menghadiri acara fanmeet-ku. Maka kau akan dapat foto beserta tanda tanganku langsung.”
xxxJKook: “Kapan acaranya? Aku penasaran dengan gadis imut ini.”

Tanpa sadar aku senyumku terkembang dengan sendirinya. Astaga...

Akaaaaaaari: “Ngomong-ngomong, tadi kau bilang kau punya pagi yang buruk hari ini. Kenapa?”
xxxJKook: “Tidak apa-apa. Hanya saja aku merasa tidak enak pada seseorang.”
Akaaaaaaari: “Kenapa?”
xxxJKook: “Kau banyak tanya, ya.”
Akaaaaaaari: “Kenapa?”
xxxJKook: “Apanya?”
Akaaaaaaari: “Kenapa kau merasa tidak enak pada seseorang ?”
xxxJKook: “Barusan kukira ponselmu rusak karena terus-terusan mengirim 'kenapa?' haha~ Bukan hal penting. Andai saja aku punya tetangga menyenangkan sepertimu.”
Akaaaaaaari: “Eh?”
xxxJKook: “Tadi pagi aku sudah membuat tetanggaku kesal.”
Akaaaaaaari: “Benarkah? Bagaimana ceritanya?”
xxxJKook: “Selagi Ibuku mengantar kue beras ke para tetangga, aku bingung dengan air yang tidak mau keluar dari keran. Sedang Ayahku menghilang entah kemana. Jadi aku menyusul Ibu keluar.”
Akaaaaaaari: “Lalu?”
xxxJKook: “Gadis tetangga didepan rumah, tak tahunya bisa bahasa Korea.”
Akaaaaaaari: “Apa masalahnya?”
xxxJKook: “Aku mengatainya aneh. Tadi pagi habis dari balkon aku mendengarnya berteriak. Jelas sekali dia memanggil Ibunya. Tapi tetap saja aku kaget.”
Akaaaaaaari: “Oh begitu... hahaha.”
xxxJKook: “Sekarang aku merasa bersalah. Dan parahnya, aku menyembunyikan rasa bersalahku dengan bilang bahwa aku lebih tua darinya. Padahal kami seumuran. Konyol sekali... kau bisa bayangkan betapa malunya aku jika harus bertemu gadis itu lagi? Aku tahu dia kesal padaku, dan aku ingin minta maaf padanya. Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Ada saran?”

Lagi-lagi aku tersenyum. Baiklah, dia tidak seburuk itu ternyata. Entah kenapa ada rasa lega melingkupi dadaku.

Akaaaaaaari: “Tetanggamu itu orang yang seperti apa?”
xxxJKook: “Gadis itu? Lumayan baby face hingga aku mengira dia anak kecil. Tubuhnya kecil, lumayan pendek. Rambutnya suka digelung seperti ibu-ibu. Ah, dia pakai kacamata.”
Akaaaaaaari: “Bukan ciri fisik. Maksudku karakternya.”
xxxJKook: “Tahu namanya saja tidak, apalagi karakternya. Eh tapi kalau Ibunya... lumayan ramah, senyum beliau juga manis.”
Akaaaaaaari: “Kau naksir Ibunya? Astaga...”
xxxJKook: “Enak saja! Eh tapi, kurasa aku tahu satu hal tentang gadis itu.”
Akaaaaaaari: “Apa?”
xxxJKook: “Dia orang yang sok akrab.”
Akaaaaaaari: “Kalau begitu minta maaf saja jika ada kesempatan. Kurasa orang yang sok akrab bisa dengan mudah memaafkan. Hahaha *jangan ikuti saran sesat”
xxxJKook: “Begitu ya?”

“Akari-chan! Turun sebentar!”

Oh Ibu, sangat suka memanggilku disaat yang tidak tepat. Aku turun dengan malas. Kulihat Ibu didapur sedang membuat... apa itu?

“Okaasan buat apa?” aku menghampiri Ibu yang sedang meletakkan bungkus kecil didalam kotak persegi milik Ibu Jungkook.

Ibu merapikan bungkusannya, lantas sedikit mendorongnya kearahku. “Tadi tetangga seberang memberi kita kue beras Korea. Kau kembalikan kotaknya, ya?”

Aku mengerjap. “Aku? Sendirian?”

Kedua alis Ibu terangkat. “Kenapa? Masih kesal?”

“Bukan. Bukan begitu... cuma agak merasa tidak enak saja.”

“Tidak perlu merasa begitu. Didalamnya sudah kutaruh makanan kecil. Kau cukup antarkan saja. Sekalian perbaiki hubunganmu dengan Jungkook,” ucap Ibu diiringi senyum penuh arti.

“Okaasan bilang apa, sih?” aku memalingkan wajah. Lantas bergegas pergi ke kamarku. “Aku keatas sebentar.”

“Eh? Kenapa?”

“Mau ganti baju!”

***


To Be Continued~
Wkwk... akhirnya ff absurd ini dipostxD. Sebenernya aku masih ga percaya diri posting yang ginian, soalnya ini pure imagine aku jadi ya... rada kemana2. Tapi berkat rahmat Tuhan yang Mahakuasa dan dengan didorong oleh keinginan Indah *nah loh, siapa Indah?xD*, aku memilih menguatkan mental dengan segala macam komentar reader-nim *ahelah PD amat lu Lid emg ada yg baca?xD
FF ini bakal terus berlanjut, alurnya agak lambat. Tapi gapapa ya><


Gimana chapter 1 nya? Kepanjangan? Apa terlalu banyak basa basi? Ntar dichapter 2 dipanjangin lagi deh :3 *nah loh?

1 komentar:

  1. Cool,I like it
    Teruskan ya... Semangat...
    Semoga karyanya semakin bagus lagi...
    Jangan patah semangat & teruskan karyamu
    "Be a good writer"

    BalasHapus