Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance
“Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away,
you’ll shatter...”
[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan
tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]
Butterfly Chapter 3
Usai menyalakan pendingin ruangan, kuhempaskan seluruh
tubuh pada kasur dengan bed cover putih yang mendominasi ruangan. Kepalaku
terasa berat sekali. Ingin rasanya aku lelap barang sebentar, tapi Jungkook
sedang menungguku sekarang.
Benar, Jeon Jungkook sedang menungguku. Perlahan aku
bangun, melucuti satu persatu kancing kemeja. Hingga tersisa satu kancing yang
belum kubuka, aku menyadari seseorang diseberang jelas sekali terlihat
sedang menatapku dari balik jendela. Sayang sekali Jeon Jungkook, kau tidak bisa melihat
tubuhku karena t-shirt hitam yang kugunakan didalam kemeja.
Aku menatap anak itu sengit. Tapi ia hanya mengangkat bahu sambil menggumamkan sesuatu seperti “Apa?”.
Kutunjuk ia dengan telunjuk, lalu melakukan
gerakan seperti sedang menggorok leher dengan tangan. “Kau mati!” bisikku.
Setelah itu dengan cepat kututup gorden, ganti baju, cuci muka, lalu membawa
beberapa buku pelajaran ke rumah Jungkook.
“Naik saja,
Jungkook ada dikamarnya,” sambut Ibu Jungkook ketika aku sudah berada
dirumahnya. “Kau mau minum apa?”
“Tidak perlu
repot-repot...” tolakku. Padahal aku belum
minum apa-apa sejak pulang.
Ibu Jungkook menaikkan alis. “Eh? Kau boleh lama-lama disini,
masa tidak mau minum? Teh chamomile bagaimana?”
“Ah, ya...
boleh,” ujarku pada akhirnya. Lantas setelah itu mendaki tangga menuju kamar
Jungkook. Pintu kamarnya terbuka, jadi aku sempat melongok ke dalam sedikit.
Rapi, bersih, tak seperti kamarku yang... ah, harusnya aku malu sebagai seorang
gadis.
Kuketuk pintu
kamarnya. Jungkook yang sedang sibuk dengan komputernya lantas menengok
kearahku. Ia tersenyum simpul.
“Boleh
masuk?”
“Masuk saja,”
katanya, lalu menarik sebuah kursi lagi disamping meja belajarnya. “Ganti
bajunya lama sekali. Jangan-jangan tadi kau berdandan sebelum kesini?”
Aku
mengerutkan kening, lalu mengalihkan pandangan ke tumpukan buku yang tadi
kubawa. “Tidak juga.”
“Oh, lihat
siapa yang bicara... dimana kacamata dan ikat rambutmu wahai gadis kutu buku?”
Aku mendelik.
“Heh!”
Jungkook
terkekeh. “Lagipula gayamu selalu berubah saat kesini. Kau jadi tambah...”
“Tambah?” Cantik,
lanjutku dalam hati.
“Tambah
terlihat pendek,” sahutnya datar.
“Eh?”
“Kau tahu,
kalau kau mengenakan rok selutut seperti ini makin membuatmu terlihat pendek.
Apalagi kalau rambut Sadako-mu itu digerai. Coba kau pakai celana panjang atau—”
“Tunggu. Kau
bilang apa? Rambut Sadako?!”
Jungkook
mengangguk dengan tampang polosnya. Astaga anak ini... benar-benar.
“Baiklah
bocah sok keren, pelajari sendiri catatanku, ya? Aku akan pulang. Gadis kutu
buku ini mau mengerjakan tugas dulu. Jika sudah selesai antar bukunya ke
seberang, ya? Kalau bisa jangan lama-lama, aku juga memerlukannya. Dah.”
Aku beranjak,
melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah lebar. Jelas sekali tadi aku
mendengar dia mengatakan sesuatu seperti “Hei aku bercanda,” dan sebagainya.
Tapi aku tidak peduli. Hariku sudah cukup buruk dengan gosip lesbi itu.
Sekarang dia mau bercanda denganku? Jeon Jungkook, aku terlalu lelah hari ini.
“Eh? Sudah
mau pulang?” tanya Ibu Jungkook saat kakiku sudah terbungkus sepatu didepan
pintu. Beliau membawa nampan berisi dua cangkir teh chamomile. “Tidak mau
diminum dulu tehnya?”
Aku berpikir
sebentar. Lantas dengan cepat meraih secangkir teh,
menghabiskannya dalam sekali teguk, dan meletakkan cangkir kosong itu
kembali ke nampan. “Aku pulang dulu, terima kasih atas tehnya.” Usai menunduk, aku bergegas keluar.
“Eh, Akari
tunggu!” suara Jungkook tertangkap
telingaku.
Aku berbalik,
lalu tersenyum singkat tanpa niat. “Jeon Jungkook... belajar yang baik, ya?
Sampai jumpa besok disekolah.”
Aku lari
kembali ke rumahku sendiri.
***
“Kau tahu
dimana kelas Takahashi Akari?” tanyaku setelah saling berkenalan dengan teman
sebangku baruku, Takaishi Satoshi.
“Takahashi
Akari? Sepertinya aku tidak kenal,” jawabnya. “Ada perlu apa memangnya?”
“Aku mau
mengembalikan bukunya, kupikir dia memerlukannya hari ini.”
“Hoi, kau
kenal Takahashi Akari, tidak?” tanya Satoshi pada anak didepannya.
Anak didepan
Satoshi menoleh kearah kami. “Takahashi Akari? Yang katanya pacaran sama
Murakami itu?”
Akari sudah
punya pacar? Setahuku tidak begitu.
“Apa
Takahashi Akari yang itu, Jeon Jungkook?” tanya Satoshi padaku.
“Aku tidak
tahu dia punya pacar atau tidak. Yang jelas dia pendek, pakai kacamata,
rambutnya panjang seperti Sada... ah sudahlah. Pokoknya seperti itu.”
Anak didepan
kami mengangguk-angguk. “Benar, sepertinya cuma dia satu-satunya yang punya
nama Takahashi Akari disini. Kalau tidak salah anak kelas 3-1.”
“Oh,
begitu... kau tahu kelasnya dimana?”
“Bagaimana
menjelaskannya, ya? Kau tanya Takaishi saja,” setelah mengatakan itu, anak tadi
berbalik dan kembali menghadap papan tulis.
Seorang guru
memasuki kelas.
“Kelas 3-1
dimana?” bisikku pada Satoshi.
“Nanti saja,
ya? Sekalian kuajak keliling-keliling.”
“Mm,
baiklah...” gumamku pelan. Setelah itu, ketua kelas memimpin salam pada guru
yang masuk. Aku ikut memberi salam. “Tapi ngomong-ngomong, kau tahu Murakami
kelas berapa?”
“Murakami?
Murakami Mayu maksudmu?”
“Yang katanya
pacar Takahashi...”
“Oh, dia
sekelas dengan Takahashi.”
“Oh...”
Eh, tunggu.
Dia sekelas dengan Akari? Itu berarti... dia seorang gadis? Akari pacaran
dengan seorang gadis? Tidak mungkin.
“Eh, tunggu. Kalau Akari
pacaran dengan si Murakami itu, berarti mereka pasangan les...” aku tak berniat
melanjutkan omonganku.
Satoshi mengangkat bahu, “Entahlah,
aku tidak terlalu tahu. Tapi ya… bisa saja begitu.”
Kukira
kemarin gadis itu bisa berlama-lama mengajariku. Tak tahunya dia jadi sangat
sensitif. Padahal aku cuma bercanda. Kuraih ponsel disaku celanaku dan membukanya
dibawah laci meja. Sejak kemarin sampai sekarang dia juga belum membalas
pesanku. Sebenarnya ada apa dengannya? Benar-benar gadis yang tidak bisa
diduga.
Aku butuh
penjelasan darinya sekarang. Dia benar-benar pacaran dengan seorang gadis atau
apa? Akari-chan, kau tidak boleh membiarkanku penasaran seperti ini.
“Jeon
Jungkook, simpan ponselmu,” tegur guru.
***
Sekarang aku
dan Satoshi tengah menyusuri lorong menuju kelas Akari.
Sepertinya aku jadi pusat perhatian disini. Banyak gadis-gadis yang melihatku
dengan tatapan berbinar. Dasar. Seperti tidak pernah melihat laki-laki tampan
saja. Tapi memang agak tidak biasa jika ada anak laki-laki yang berjalan-jalan
disekitar kelas putri.
“Gadis-gadis
disini sepertinya akan jadi penggemarmu,” ujar Satoshi sambil tertawa ringan.
“Letak kelas 3-1 memang agak susah dijelaskan. Lorongnya terlalu panjang, ya.
Tapi setelah belok kanan, kau akan melihat kelas 3-1.”
“Murakami dan
Takahashi... benar mereka pacaran? Mereka kan sama-sama gadis,” kataku tanpa
memperdulikan ucapan Satoshi sebelumnya.
Satoshi
mengangkat bahu. “Aku tidak peduli dengan hal-hal seperti itu.”
“Annyeong!
Kau Jeon Jungkook yang dari Korea itu, kan?” seorang gadis tiba-tiba muncul
didepan kami dan berbicara dengan bahasa Korea. Ia melemparkan senyum lebar
padaku. “Kau mau apa kemari? Anak laki-laki tidak diperbolehkan berkeliaran
diarea kelas putri seperti ini. Kalau mau ke kantin saja.”
Aku lantas
mengangkat buku Akari yang kubawa. “Mengantar ini,” jawabku singkat.
“Eh?” Gadis
itu membulatkan mata melihat tulisan nama disampul buku Akari. “Takahashi
Akari? Dia gadis lesbian itu, kan?”
“Gadis
les...”
“Ini,” ia
memperlihatkan foto Akari dan seorang gadis berambut sebahu yang terlihat
sangat-sangat dekat, nyaris seperti berciuman dengan kantin sebagai latarnya.
“Kalau mau bagaimana jika aku saja yang antar bukunya?”
Aku tertegun.
Akari... benarkah? Entah kenapa sekarang aku jadi tidak berani menemuinya.
Tadinya aku mau mengembalikan bukunya dan minta maaf. Tapi sekarang aku sendiri
tidak yakin dengan apa yang akan kukatakan padanya. Caraku melihatnya sudah
agak berubah gara-gara mendengar kabar lesbian itu. Aku lalu menyerahkan buku
Akari pada gadis itu dan kembali ke kelasku sendiri.
***
“Takahashi,
ini bukumu,” Suzuran meletakkan tumpukan buku yang kemarin kupinjamkan pada
Jungkook diatas meja. “Katakan padaku bagaimana kau bisa mengenal anak baru
dari Korea itu.”
“Dia
tetanggaku,” jawabku malas. “Katanya dia mau mengejar pelajaran yang tertinggal
selagi pindahan. Kenapa?”
“Oh...
begitu. Apa kau dekat dengannya?”
Tuhan,
kuharap obrolan tentang Jeon Jungkook ini segera berakhir. “Tidak. Terima kasih
sudah mengantarkan bukuku.”
Syukurlah,
doaku dikabulkan. Suzuran segera pergi dari hadapanku dan duduk dikursinya
sendiri.
Aku benci
hari ini. Pagi tadi ponselku tiba-tiba mati total, padahal niatnya mau membalas
pesan Jungkook yang sengaja kuabaikan tadi malam. Sore ini aku mau mengantarnya
ke sevice center. Hariku jadi makin buruk karena Mayu tidak masuk, kelasku
dipenuhi topik tentang Jeon Jungkook, lalu aku menemukan fotoku dan Mayu yang
sedang berbisik di kantin kemarin. Parahnya, foto itu terlihat seperti kami
sedang berciuman. Ayolah, kami bahkan baru kelas tiga SMP. Fans manalagi yang
mengambil fotoku diam-diam dari sudut seperti itu?
Dan Jungkook,
kenapa bukuku bisa ada pada Suzuran? Kenapa dia yang mengantarkannya? Kenapa
tidak Jungkook sendiri saja? Dia ikut-ikutan jijik padaku, kah? Padahal aku
ingin minta maaf atas kejadian kemarin secara langsung.
Sekelebat
pertanyaan menghujani pikiranku sekaligus. Aku harus bicara dengan Jeon
Jungkook sepulang sekolah.
***
“Apa dia
pergi ke suatu tempat, ya?” gumamku sambil berayun pelan. Sekarang aku tengah
menunggu Jungkook ditaman depan kompleks. Sudah hampir lima belas menit aku
disini, namun sosoknya belum nampak juga. Yang ada hanyalah beberapa anak yang sedang asyik bermain disekitarku, seolah sengaja membuatku yang tak punya teman merasa cemburu. Juga keberadaan angin musim gugur kiranya mulai menyiksa gadis tanpa pakaian tebal
ini.
Aku menengok
ke kanan dan kiri. Nihil.
“Sedang apa
kau disini?”
Aku menengok
ke samping. Sejak kapan Ai ikut main ayunan juga? “Cuma main,” jawabku asal.
“Oh...” Ai
menatap anak-anak yang sedang bermain kejar-kejar didepan dengan tatapan
menerawang. “Kau tidak tanya?”
“Hm?”
“Kenapa aku
disini, kau tidak penasaran?”
Aku
menggeleng. “Aku tidak penasaran. Tapi, kenapa kau disini?”
Ia beralih
menatapku, lantas ke tanah disela-sela kakinya. “Sedang malas dirumah.”
“Oneechan
bertengkar dengan Chikano Oniisan?” tebakku langsung.
Ai berhenti
berayun. Ia mengangkat kepalanya dan memandang sekeliling. Lalu hembusan napas
keras terdengar. Ia mengangguk.
“Gara-gara
Otousan?”
“Bukan. Sama
sekali bukan,” Ai kembali berayun. “Kenapa laki-laki itu sulit sekali ditebak?
Aku bahkan tidak tahu kapan moodnya sedang baik atau buruk. Kenapa dia bisa
mengabaikanku seperti itu? Kenapa sikapnya berubah dingin padaku? Kesalahan apa
yang kuperbuat? Setidaknya dia harus katakan padaku agar aku bisa
memperbaikinya. Dasar,” Ai mendengus.
“Mulai lagi,”
gumamku lirih.
“Apanya yang
mulai?”
“Oneechan
dengar?”
Ai
memberengut kearahku. “Tentu saja!”
Aku terkekeh
pelan selagi Ai menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. “Nanti sore bisa temani
aku ke service center, kan?”
“Tentu saja.”
“Anginnya
sekarang mulai dingin, ya...” Aku mendongak melihat langit yang mulai ditutupi
awan kelabu. “Mau hujan, kah?”
“Hm?” Ai ikut
menatap langit. “Kau benar. Kapan terakhir hujan, ya? Ah, aku rindu hujan.”
“Aku rindu
musim panas...” ucapku lirih.
Ai menengok
kearahku. “Dasar gadis musim panas. Saking sukanya kau dengan musim panas,
sampai-sampai tubuhmu sendiri tidak suka dengan musim yang lain. Kau tahu,
harusnya sekarang kau pakai pakaian yang lebih tebal. Seragammu saja tidak
cukup untuk menangkal dingin...”
Aku tersenyum
mendengar ocehan Ai tentang diriku. Kutarik napas dalam, mencoba menikmati
musim yang ada. Lalu kakiku mendorong tanah perlahan, berayun dengan mata
terpejam.
“...sudah
sakit pasti Okaasan yang repot. Lain kali jangan lupa bawa jaketmu. Kalau cuma
mau main-main seperti ini, sebaiknya jangan lama-lama. Hei, kau dengar, tidak?”
“Mm hmm...” sahutku sembari membuka mata perlahan. Pupilku seketika membesar melihat apa yang ada di jalan didepan.
Disana. Anak
itu ada disana , berjalan sambil memainkan ponselnya. Tanpa basa-basi lagi aku
langsung melompat kearahnya, tanpa memperdulikan Ai yang memanggil-manggil
namaku.
Anak itu
otomatis menoleh ketika mendengar suara Ai. Ia terlihat agak kaget waktu
melihatku. “Akari-chan?”
Seulah senyum
lega terlukis diwajahku. Dia masih memanggilku dengan cara yang sama. “Jeon
Jungkook, dengarkan aku...” aku mengatur napas yang tersengal akibat berlari.
“Kau tidak
apa-apa?” tanyanya sambil menatap tepat ke mataku. Ada
sebersit binar yang entahlah, tak pernah kulihat disitu. Ada sesuatu dibalik
tatapannya. Tapi aku tidak bisa mengartikannya.
“Tidak
apa-apa, apanya?” aku balik bertanya.
Jungkook
lantas tertawa kecil. Astaga... tawa itu, gigi kelinci itu... Kuatkan dirimu,
Takahashi Akari. “Sudahlah, bukan apa-apa.” Ia berdeham pelan diakhir tawanya.
“Jadi apa yang harus aku dengar?”
Kuhembuskan
napas dengan kasar, lalu kembali mendongak menatap mata anak itu. “Maafkan
aku... atas sikapku kemarin. Saat itu aku punya masalah dan jadi sangat
sensitif. Aku tahu kemarin kau cuma bercanda, jadi aku minta maaf dengan
sangat. Kau tidak membenciku, kan?”
Jungkook
menggeleng. “Untuk apa aku membencimu?”
“Lalu kenapa
kau tidak mengantarkan bukuku secara langsung dan malah menitipkannya pada
Suzuran?”
Jungkook
terdiam sebentar, lalu menggeleng lagi. “Kau sendiri, kenapa belum membalas
pesanku?”
“Ponselku
tiba-tiba mati total. Sore ini mau diperbaiki. Untuk itu, aku juga minta ma—”
“Shhh...”
sebuah telunjuk mendarat mulus dibibirku. Kulihat tatapan anak itu berubah
melembut. “Berhentilah minta maaf. Aku tidak suka melihat seorang Akari
terus-terusan minta maaf begini. Kembalilah jadi Akari periang yang kusuka.”
Buru-buru aku
berbalik mengalihkan pandangan. Terlihat Ai disana masih menatapku disertai
senyum penuh arti. Oh astaga.
Deg... deg...
jantungku yang malang. Rasanya seperti habis lari marathon. Dia... dia
menyentuh bibirku dan itu rasanya... Tuhan, selamatkan jantungku yang derunya
semakin menjadi ini. Tidak. Aku bahkan tidak sanggup lagi untuk hanya sekedar
menatap matanya.
“Haccih!!!” Aku diterpa angin dingin yang dating entah darimana secara tiba-tiba. Tapi syukurlah, detak jantungku mulai normal
setelah bersin tadi.
Aku merasa
bahuku ditimpa sesuatu. Oh bukan seperti itu. Lebih tepatnya sesuatu
menyelimutiku. Jaket. Jungkook sedang
memakaikan jaketnya padaku. Setelah itu dia memutar badannya agar kembali berhadapan denganku. Lalu merapatkan jaket yang membungkus
tubuhku.
“Gadis bodoh.
Ayo, kita pulang sekarang,” ucapnya sambil menepuk bahuku, lalu berjalan lebih
dahulu.
Aku
melihatnya berjalan dari belakang. Punggung itu... bahu yang disalah satu
sisinya disampirkan tas itu... cara berjalan itu... ditambah rambut yang
berkibar karena tiupan angin itu... aku tidak pernah membayangkan seorang Jeon
Jungkook yang biasa chat denganku bisa seperti itu. Keren. Memesona. Kalau saja bahu itu ada saat aku sedang terkena
masalah seperti sekarang ini.
Eh? Barusan
kau pikir apa, Takahashi Akari?
“Sampai kapan
kau mau disitu?” tanyanya.
Aku dengan
cepat mengikutinya. Akhirnya, kami berjalan sama-sama melewati jalanan
kompleks.
“Akari-chan...”
panggil Jungkook suatu ketika.
“Hm?”
“Kita ini
teman, kan?”
Aku
mengangguk pasti. “Tentu saja!”
Kulihat
Jungkook tersenyum samar.
“Tapi ada
aturan yang harus kau patuhi jika kau mau terus berteman denganku,” tambahku.
“Apa?”
“Kontak fisik
tidak diperbolehkan!” ucapku tegas sambil menyilangkan kedua tangan membentuk
huruf X.
Jungkook
menatapku kesal. “Hei... aturan macam apa itu? Tidak asyik, ah.”
“Kalau begitu
yasudah. Berarti kau tidak mau berteman denganku.”
“Eh, bukan
seperti itu!” Anak itu menggaruk kepalanya asal. “Baiklah, baiklah. Kontak
fisik tidak diperbolehkan. Lalu apa lagi?”
“Cuma itu.”
“Cuma itu?”
“Iya. Cerewet
sekali.”
“Hoho, lihat
siapa yang bicara. Kadang kau juga sangat cerewet, tahu!”
Aku hanya
menggumam tidak jelas.
“Oh iya,
Akari-chan punya pacar?”
“Eh?!” Cepat-cepat aku menggeleng. “ Secepat itukah gosip murahan itu
menyebar? Kau jangan percaya yang seperti itu! Kau lihat sendiri, kan? Aku
fangirlnya G-Dragon. Aku masih suka laki-laki...”
“Kau masih
suka laki-laki? Tapi barusan aku tidak bilang kau suka pada gadis,”
ujar Jungkook dengan wajah polosnya.
Aku memutar
bola mata, merasa kalah. “Eh, bukan begitu. Tapi aku memang tidak punya pacar.”
Jungkook
tertawa kecil. “Syukurlah kalau begitu.”
“Hm? Kenapa
kau bersyukur?”
“Tidak
apa-apa. Tadi kau bilang kemarin kau punya masalah. Masalah apa?”
“Gosip
lesbian... apa sudah separah itu?”
Jungkook
berhenti berjalan. Ia tiba-tiba memegang bahuku dan menatapku dalam. Sepasang manik hitam bening itu menatap ke satu arah, hanya
padaku. Binarnya memancarkan kehangatan. Dan bibir plum itu juga terkatup rapat. Satu detik... dua
detik... Oh Tuhan, aku tidak sanggup!
Segera
kudorong tubuhnya pelan dan berjalan lebih dahulu. “Sudah kubilang kontak fisik
tidak diperbolehkan!”
Terdengar
tawa Jungkook dibelakangku. “Benar-benar seorang gadis! Tidak perlu salah
tingkah begitu. Dasar,” dia menjitak kepalaku keras.
“Aih! Sakit!”
aku mengelus pucuk kepalaku.
Jungkook
berjalan mengiringiku. “Astaga bodoh sekali Jeon Jungkook ini. Ya, ya...
Takahashi Akari seorang fangirl boygroup mana mungkin dia menyukai sesama
gadis? Jeon Jungkook bodoh sekali sampai bisa percaya gosip seperti itu dan
malah takut pada Akari. Astaga...”
“Heh! Kau
bilang apa? Kau takut padaku?”
Jungkook
menatapku kesal. “Lagipula kau! Apa yang kau lakukan dengan Murakami atau
siapalah itu hingga difoto kalian bisa terlihat seperti itu? Kau tahu bagaimana
kagetnya aku waktu mendengar berita lesbianmu?”
Aku terbahak.
“Jadi itu sebabnya kau titip bukuku pada Suzuran?”
“Dia yang
menawarkan bantuan lebih dulu.”
“Sama saja,
kan,” aku mendengus. “Sudahlah, abaikan saja gosip itu.”
Jungkook
melirikku sekilas. “Kau yakin tidak apa-apa? Tahun depan kita akan masuk SMA.
Kau mau gosip itu terus melekat padamu?”
Jungkook benar. Aku harus
menyelesaikan masalah ini. Kugelengkan kepalaku lemah. “Aku harus bagaimana...”
gumamku lirih.
“Kau harus
bilang pada mereka kalau kau suka pada laki-laki.”
“Percuma. Aku
bilang kalau tahun ini aku tidak tertarik dengan laki-laki, aku mau fokus
belajar untuk ujian.”
“Begitu?
Ah...” Jungkook memutar mata. “Hei Nona fangirl yang sering membaca fanfict, coba kau pikirkan cara drama?”
Aku berhenti
berjalan dan berpikir sebentar sambil mendongak melihat langit yang kelabunya
semakin pekat. Dan tiba-tiba sebuah ide muncul dikepalaku.
“Jeon
Jungkook!” seruku.
“Apa?”
tanyanya.
“Bagaimana
nilaimu?”
“Eh?”
“Bagus atau
tidak? Kau ranking berapa disekolah yang sebelumnya?”
“Cukup bagus,
ranking 4. Kenapa?”
“Sempurna!”
aku melonjak girang.
“Kau sehat?”
Jungkook berjalan mendekatiku, hendak menempelkan tangannya ke dahiku. Namun
dengan cepat kutepis tangannya.
“Karena kau
bilang pikirkan cara drama... aku terpikir sesuatu seperti ini,” aku berdeham.
“Karena kau pintar, aku jadi suka padamu. Lalu karena menurutmu aku imut, kau
suka padaku. Lalu kita berdua jadi akrab dan saling menyukai satu sama lain,
bagaimana? Disekolah kau boleh menempel padaku. Anggaplah seperti sasaeng
fansku. Eh? Tidak, sasaeng fans
terlalu kelewatan. Pokoknya kau jadi sangat suka padaku. Lalu aku tidak tega padamu dan mulai
melihatmu... hm, bagaimana?”
Jungkook
menghembuskan napas panjang, lalu menggeleng. “Cerita macam apa itu?”
“Lalu harus
bagaimana? Jeon Jungkook... ayolah bantu aku!” aku memelas dengan aegyo.
Tiba-tiba anak itu memasang tatapan sok serius. Ia sedikit
mencondongkan tubuhnya kedepan, berusaha menyamai tinggiku. “Dari pada skenario
tidak jelas seperti itu, mari kita permudah saja. Aku juga punya skenario yang
bisa membantumu.”
“Ba...
bagaimana?” tiba-tiba aku jadi gugup sendiri.
Masih dengan
tatapan sok seriusnya, Jungkook berujar, “Jadilah pacarku.”
Ini gila. Deg... deg... jantungku, apa kabar? Dan mataku kenapa? Mataku tidak dapat beralih dari matanya. Tatapannya mengunciku. Hanya saja sesuatu
didalam sini serasa ada yang mau meledak. Itu tadi hanya untuk membantuku bebas
dari gosip lesbian itu, kan? Sadarlah, Takahashi Akari. Anak itu tidak serius.
Dia pasti akan tertawa keras jika dia bisa membaca pikiranmu. Tapi kenapa
otakku mencernanya seolah nyata?
“Astaga, Ya
Tuhan,”
Sontak kami berdua menoleh. Sejak kapan Ai ada
dibelakang kami? Sadar sedang ditatap, Ai menggeleng-geleng sambil
menggoyangkan tangannya. “Lanjutkan saja pembicaraan kalian, anggap saja aku
tidak ada.”
“Bagaimana?”
tanya Jungkook lagi.
Aku
mengerjap.
“Tunggu apa
lagi?! Cepat bilang 'ya', gadis bodoh!” Ai berseru greget seolah sedang menonton drama.
Aku dan
Jungkook menatap Ai dengan kesal.
“Ups, maaf.”
“Baiklah,”
ucapku singkat. Lantas setelah itu kami membuka pagar rumah masing-masing
Sebelumnya,
Jungkook tersenyum kecil, sedangkan Ai gelabakan sendiri dibelakang. “Dia
siapa? Kakakmu yang itu?” bisik Jungkook.
Aku
mengangguk. Sebelumnya aku memang sering bercerita tentang Ai pada Jungkook.
“Dia norak, ya?” balasku berbisik juga
“Tidak lebih
norak dibanding kau,” ledeknya.
***
To be continued~
Hola, Olid kembali post FF walau cuma sekitar 2 org yg baca ㅠ.ㅠ *hiks
Untuk pembaca setiaku, Mawar dan Melati, terima kasih banyak~ *lah mereka siapa?
Ah sudahlah. Mulai absurd.
Oh iya, bentar lagi weekend jadi kyknya aku bakal post sering2 kekeke~
Kalimatku masih kurang bagus, jadi mohon bantuannya~ satu komentar dari kalian sangat berarti bagiku. Lafff~ ♥
Tidak ada komentar:
Posting Komentar