Jumat, 08 Januari 2016

[FF] Butterfly Chapter 3

Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance


Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away, you’ll shatter...


[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]



Butterfly Chapter 3

Usai menyalakan pendingin ruangan, kuhempaskan seluruh tubuh pada kasur dengan bed cover putih yang mendominasi ruangan. Kepalaku terasa berat sekali. Ingin rasanya aku lelap barang sebentar, tapi Jungkook sedang menungguku sekarang.

Benar, Jeon Jungkook sedang menungguku. Perlahan aku bangun, melucuti satu persatu kancing kemeja. Hingga tersisa satu kancing yang belum kubuka, aku menyadari seseorang diseberang jelas sekali terlihat sedang menatapku dari balik jendela. Sayang sekali Jeon Jungkook, kau tidak bisa melihat tubuhku karena t-shirt hitam yang kugunakan didalam kemeja.

Aku menatap anak itu sengit. Tapi ia hanya mengangkat bahu sambil menggumamkan sesuatu seperti “Apa?”.

Kutunjuk ia dengan telunjuk, lalu melakukan gerakan seperti sedang menggorok leher dengan tangan. “Kau mati!” bisikku. Setelah itu dengan cepat kututup gorden, ganti baju, cuci muka, lalu membawa beberapa buku pelajaran ke rumah Jungkook.

“Naik saja, Jungkook ada dikamarnya,” sambut Ibu Jungkook ketika aku sudah berada dirumahnya. “Kau mau minum apa?”

“Tidak perlu repot-repot...” tolakku. Padahal aku belum minum apa-apa sejak pulang.

Ibu Jungkook menaikkan alis. “Eh? Kau boleh lama-lama disini, masa tidak mau minum? Teh chamomile bagaimana?”

“Ah, ya... boleh,” ujarku pada akhirnya. Lantas setelah itu mendaki tangga menuju kamar Jungkook. Pintu kamarnya terbuka, jadi aku sempat melongok ke dalam sedikit. Rapi, bersih, tak seperti kamarku yang... ah, harusnya aku malu sebagai seorang gadis.

Kuketuk pintu kamarnya. Jungkook yang sedang sibuk dengan komputernya lantas menengok kearahku. Ia tersenyum simpul.

“Boleh masuk?”

“Masuk saja,” katanya, lalu menarik sebuah kursi lagi disamping meja belajarnya. “Ganti bajunya lama sekali. Jangan-jangan tadi kau berdandan sebelum kesini?”

Aku mengerutkan kening, lalu mengalihkan pandangan ke tumpukan buku yang tadi kubawa. “Tidak juga.”

“Oh, lihat siapa yang bicara... dimana kacamata dan ikat rambutmu wahai gadis kutu buku?”

Aku mendelik. “Heh!”

Jungkook terkekeh. “Lagipula gayamu selalu berubah saat kesini. Kau jadi tambah...”

“Tambah?” Cantik, lanjutku dalam hati.

“Tambah terlihat pendek,” sahutnya datar.

“Eh?”

“Kau tahu, kalau kau mengenakan rok selutut seperti ini makin membuatmu terlihat pendek. Apalagi kalau rambut Sadako-mu itu digerai. Coba kau pakai celana panjang atau

“Tunggu. Kau bilang apa? Rambut Sadako?!”

Jungkook mengangguk dengan tampang polosnya. Astaga anak ini... benar-benar.

“Baiklah bocah sok keren, pelajari sendiri catatanku, ya? Aku akan pulang. Gadis kutu buku ini mau mengerjakan tugas dulu. Jika sudah selesai antar bukunya ke seberang, ya? Kalau bisa jangan lama-lama, aku juga memerlukannya. Dah.”

Aku beranjak, melangkah keluar dari kamarnya dengan langkah lebar. Jelas sekali tadi aku mendengar dia mengatakan sesuatu seperti “Hei aku bercanda,” dan sebagainya. Tapi aku tidak peduli. Hariku sudah cukup buruk dengan gosip lesbi itu. Sekarang dia mau bercanda denganku? Jeon Jungkook, aku terlalu lelah hari ini.

“Eh? Sudah mau pulang?” tanya Ibu Jungkook saat kakiku sudah terbungkus sepatu didepan pintu. Beliau membawa nampan berisi dua cangkir teh chamomile. “Tidak mau diminum dulu tehnya?”

Aku berpikir sebentar. Lantas dengan cepat meraih secangkir teh, menghabiskannya dalam sekali teguk, dan meletakkan cangkir kosong itu kembali ke nampan. “Aku pulang dulu, terima kasih atas tehnya.” Usai menunduk, aku bergegas keluar.

“Eh, Akari tunggu!” suara Jungkook tertangkap telingaku.

Aku berbalik, lalu tersenyum singkat tanpa niat. “Jeon Jungkook... belajar yang baik, ya? Sampai jumpa besok disekolah.”

Aku lari kembali ke rumahku sendiri.

***

“Kau tahu dimana kelas Takahashi Akari?” tanyaku setelah saling berkenalan dengan teman sebangku baruku, Takaishi Satoshi.

“Takahashi Akari? Sepertinya aku tidak kenal,” jawabnya. “Ada perlu apa memangnya?”

“Aku mau mengembalikan bukunya, kupikir dia memerlukannya hari ini.”

“Hoi, kau kenal Takahashi Akari, tidak?” tanya Satoshi pada anak didepannya.

Anak didepan Satoshi menoleh kearah kami. “Takahashi Akari? Yang katanya pacaran sama Murakami itu?”

Akari sudah punya pacar? Setahuku tidak begitu.

“Apa Takahashi Akari yang itu, Jeon Jungkook?” tanya Satoshi padaku.

“Aku tidak tahu dia punya pacar atau tidak. Yang jelas dia pendek, pakai kacamata, rambutnya panjang seperti Sada... ah sudahlah. Pokoknya seperti itu.”

Anak didepan kami mengangguk-angguk. “Benar, sepertinya cuma dia satu-satunya yang punya nama Takahashi Akari disini. Kalau tidak salah anak kelas 3-1.”

“Oh, begitu... kau tahu kelasnya dimana?”

“Bagaimana menjelaskannya, ya? Kau tanya Takaishi saja,” setelah mengatakan itu, anak tadi berbalik dan kembali menghadap papan tulis.

Seorang guru memasuki kelas.

“Kelas 3-1 dimana?” bisikku pada Satoshi.

“Nanti saja, ya? Sekalian kuajak keliling-keliling.”

“Mm, baiklah...” gumamku pelan. Setelah itu, ketua kelas memimpin salam pada guru yang masuk. Aku ikut memberi salam. “Tapi ngomong-ngomong, kau tahu Murakami kelas berapa?”

“Murakami? Murakami Mayu maksudmu?”

“Yang katanya pacar Takahashi...”

“Oh, dia sekelas dengan Takahashi.”

“Oh...”

Eh, tunggu. Dia sekelas dengan Akari? Itu berarti... dia seorang gadis? Akari pacaran dengan seorang gadis? Tidak mungkin.

“Eh, tunggu. Kalau Akari pacaran dengan si Murakami itu, berarti mereka pasangan les...” aku tak berniat melanjutkan omonganku.

Satoshi mengangkat bahu, “Entahlah, aku tidak terlalu tahu. Tapi ya… bisa saja begitu.”

Kukira kemarin gadis itu bisa berlama-lama mengajariku. Tak tahunya dia jadi sangat sensitif. Padahal aku cuma bercanda. Kuraih ponsel disaku celanaku dan membukanya dibawah laci meja. Sejak kemarin sampai sekarang dia juga belum membalas pesanku. Sebenarnya ada apa dengannya? Benar-benar gadis yang tidak bisa diduga.

Aku butuh penjelasan darinya sekarang. Dia benar-benar pacaran dengan seorang gadis atau apa? Akari-chan, kau tidak boleh membiarkanku penasaran seperti ini.

“Jeon Jungkook, simpan ponselmu,” tegur guru.

***

Sekarang aku dan Satoshi tengah menyusuri lorong menuju kelas Akari. Sepertinya aku jadi pusat perhatian disini. Banyak gadis-gadis yang melihatku dengan tatapan berbinar. Dasar. Seperti tidak pernah melihat laki-laki tampan saja. Tapi memang agak tidak biasa jika ada anak laki-laki yang berjalan-jalan disekitar kelas putri.

“Gadis-gadis disini sepertinya akan jadi penggemarmu,” ujar Satoshi sambil tertawa ringan. “Letak kelas 3-1 memang agak susah dijelaskan. Lorongnya terlalu panjang, ya. Tapi setelah belok kanan, kau akan melihat kelas 3-1.”

“Murakami dan Takahashi... benar mereka pacaran? Mereka kan sama-sama gadis,” kataku tanpa memperdulikan ucapan Satoshi sebelumnya.

Satoshi mengangkat bahu. “Aku tidak peduli dengan hal-hal seperti itu.”

“Annyeong! Kau Jeon Jungkook yang dari Korea itu, kan?” seorang gadis tiba-tiba muncul didepan kami dan berbicara dengan bahasa Korea. Ia melemparkan senyum lebar padaku. “Kau mau apa kemari? Anak laki-laki tidak diperbolehkan berkeliaran diarea kelas putri seperti ini. Kalau mau ke kantin saja.”

Aku lantas mengangkat buku Akari yang kubawa. “Mengantar ini,” jawabku singkat.

“Eh?” Gadis itu membulatkan mata melihat tulisan nama disampul buku Akari. “Takahashi Akari? Dia gadis lesbian itu, kan?”

“Gadis les...”

“Ini,” ia memperlihatkan foto Akari dan seorang gadis berambut sebahu yang terlihat sangat-sangat dekat, nyaris seperti berciuman dengan kantin sebagai latarnya. “Kalau mau bagaimana jika aku saja yang antar bukunya?”

Aku tertegun. Akari... benarkah? Entah kenapa sekarang aku jadi tidak berani menemuinya. Tadinya aku mau mengembalikan bukunya dan minta maaf. Tapi sekarang aku sendiri tidak yakin dengan apa yang akan kukatakan padanya. Caraku melihatnya sudah agak berubah gara-gara mendengar kabar lesbian itu. Aku lalu menyerahkan buku Akari pada gadis itu dan kembali ke kelasku sendiri.

***

“Takahashi, ini bukumu,” Suzuran meletakkan tumpukan buku yang kemarin kupinjamkan pada Jungkook diatas meja. “Katakan padaku bagaimana kau bisa mengenal anak baru dari Korea itu.”

“Dia tetanggaku,” jawabku malas. “Katanya dia mau mengejar pelajaran yang tertinggal selagi pindahan. Kenapa?”

“Oh... begitu. Apa kau dekat dengannya?”

Tuhan, kuharap obrolan tentang Jeon Jungkook ini segera berakhir. “Tidak. Terima kasih sudah mengantarkan bukuku.”

Syukurlah, doaku dikabulkan. Suzuran segera pergi dari hadapanku dan duduk dikursinya sendiri.

Aku benci hari ini. Pagi tadi ponselku tiba-tiba mati total, padahal niatnya mau membalas pesan Jungkook yang sengaja kuabaikan tadi malam. Sore ini aku mau mengantarnya ke sevice center. Hariku jadi makin buruk karena Mayu tidak masuk, kelasku dipenuhi topik tentang Jeon Jungkook, lalu aku menemukan fotoku dan Mayu yang sedang berbisik di kantin kemarin. Parahnya, foto itu terlihat seperti kami sedang berciuman. Ayolah, kami bahkan baru kelas tiga SMP. Fans manalagi yang mengambil fotoku diam-diam dari sudut seperti itu?

Dan Jungkook, kenapa bukuku bisa ada pada Suzuran? Kenapa dia yang mengantarkannya? Kenapa tidak Jungkook sendiri saja? Dia ikut-ikutan jijik padaku, kah? Padahal aku ingin minta maaf atas kejadian kemarin secara langsung.

Sekelebat pertanyaan menghujani pikiranku sekaligus. Aku harus bicara dengan Jeon Jungkook sepulang sekolah.

***

“Apa dia pergi ke suatu tempat, ya?” gumamku sambil berayun pelan. Sekarang aku tengah menunggu Jungkook ditaman depan kompleks. Sudah hampir lima belas menit aku disini, namun sosoknya belum nampak juga. Yang ada hanyalah beberapa anak yang sedang asyik bermain disekitarku, seolah sengaja membuatku yang tak punya teman merasa cemburu. Juga keberadaan angin musim gugur kiranya mulai menyiksa gadis tanpa pakaian tebal ini.

Aku menengok ke kanan dan kiri. Nihil.

“Sedang apa kau disini?”

Aku menengok ke samping. Sejak kapan Ai ikut main ayunan juga? “Cuma main,” jawabku asal.

“Oh...” Ai menatap anak-anak yang sedang bermain kejar-kejar didepan dengan tatapan menerawang. “Kau tidak tanya?”

“Hm?”

“Kenapa aku disini, kau tidak penasaran?”

Aku menggeleng. “Aku tidak penasaran. Tapi, kenapa kau disini?”

Ia beralih menatapku, lantas ke tanah disela-sela kakinya. “Sedang malas dirumah.”

“Oneechan bertengkar dengan Chikano Oniisan?” tebakku langsung.

Ai berhenti berayun. Ia mengangkat kepalanya dan memandang sekeliling. Lalu hembusan napas keras terdengar. Ia mengangguk.

“Gara-gara Otousan?”

“Bukan. Sama sekali bukan,” Ai kembali berayun. “Kenapa laki-laki itu sulit sekali ditebak? Aku bahkan tidak tahu kapan moodnya sedang baik atau buruk. Kenapa dia bisa mengabaikanku seperti itu? Kenapa sikapnya berubah dingin padaku? Kesalahan apa yang kuperbuat? Setidaknya dia harus katakan padaku agar aku bisa memperbaikinya. Dasar,” Ai mendengus.

“Mulai lagi,” gumamku lirih.

“Apanya yang mulai?”

“Oneechan dengar?”

Ai memberengut kearahku. “Tentu saja!”

Aku terkekeh pelan selagi Ai menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. “Nanti sore bisa temani aku ke service center, kan?”

“Tentu saja.”

“Anginnya sekarang mulai dingin, ya...” Aku mendongak melihat langit yang mulai ditutupi awan kelabu. “Mau hujan, kah?”

“Hm?” Ai ikut menatap langit. “Kau benar. Kapan terakhir hujan, ya? Ah, aku rindu hujan.”

“Aku rindu musim panas...” ucapku lirih.

Ai menengok kearahku. “Dasar gadis musim panas. Saking sukanya kau dengan musim panas, sampai-sampai tubuhmu sendiri tidak suka dengan musim yang lain. Kau tahu, harusnya sekarang kau pakai pakaian yang lebih tebal. Seragammu saja tidak cukup untuk menangkal dingin...”

Aku tersenyum mendengar ocehan Ai tentang diriku. Kutarik napas dalam, mencoba menikmati musim yang ada. Lalu kakiku mendorong tanah perlahan, berayun dengan mata terpejam.

“...sudah sakit pasti Okaasan yang repot. Lain kali jangan lupa bawa jaketmu. Kalau cuma mau main-main seperti ini, sebaiknya jangan lama-lama. Hei, kau dengar, tidak?”

“Mm hmm...” sahutku sembari membuka mata perlahan. Pupilku seketika membesar melihat apa yang ada di jalan didepan.

Disana. Anak itu ada disana , berjalan sambil memainkan ponselnya. Tanpa basa-basi lagi aku langsung melompat kearahnya, tanpa memperdulikan Ai yang memanggil-manggil namaku.

Anak itu otomatis menoleh ketika mendengar suara Ai. Ia terlihat agak kaget waktu melihatku. “Akari-chan?”

Seulah senyum lega terlukis diwajahku. Dia masih memanggilku dengan cara yang sama. “Jeon Jungkook, dengarkan aku...” aku mengatur napas yang tersengal akibat berlari.

“Kau tidak apa-apa?” tanyanya sambil menatap tepat ke mataku. Ada sebersit binar yang entahlah, tak pernah kulihat disitu. Ada sesuatu dibalik tatapannya. Tapi aku tidak bisa mengartikannya.

“Tidak apa-apa, apanya?” aku balik bertanya.

Jungkook lantas tertawa kecil. Astaga... tawa itu, gigi kelinci itu... Kuatkan dirimu, Takahashi Akari. “Sudahlah, bukan apa-apa.” Ia berdeham pelan diakhir tawanya. “Jadi apa yang harus aku dengar?”

Kuhembuskan napas dengan kasar, lalu kembali mendongak menatap mata anak itu. “Maafkan aku... atas sikapku kemarin. Saat itu aku punya masalah dan jadi sangat sensitif. Aku tahu kemarin kau cuma bercanda, jadi aku minta maaf dengan sangat. Kau tidak membenciku, kan?”

Jungkook menggeleng. “Untuk apa aku membencimu?”

“Lalu kenapa kau tidak mengantarkan bukuku secara langsung dan malah menitipkannya pada Suzuran?”

Jungkook terdiam sebentar, lalu menggeleng lagi. “Kau sendiri, kenapa belum membalas pesanku?”

“Ponselku tiba-tiba mati total. Sore ini mau diperbaiki. Untuk itu, aku juga minta ma

“Shhh...” sebuah telunjuk mendarat mulus dibibirku. Kulihat tatapan anak itu berubah melembut. “Berhentilah minta maaf. Aku tidak suka melihat seorang Akari terus-terusan minta maaf begini. Kembalilah jadi Akari periang yang kusuka.”

Buru-buru aku berbalik mengalihkan pandangan. Terlihat Ai disana masih menatapku disertai senyum penuh arti. Oh astaga.

Deg... deg... jantungku yang malang. Rasanya seperti habis lari marathon. Dia... dia menyentuh bibirku dan itu rasanya... Tuhan, selamatkan jantungku yang derunya semakin menjadi ini. Tidak. Aku bahkan tidak sanggup lagi untuk hanya sekedar menatap matanya.

“Haccih!!!” Aku diterpa angin dingin yang dating entah darimana secara tiba-tiba. Tapi syukurlah, detak jantungku mulai normal setelah bersin tadi.

Aku merasa bahuku ditimpa sesuatu. Oh bukan seperti itu. Lebih tepatnya sesuatu menyelimutiku. Jaket. Jungkook sedang memakaikan jaketnya padaku. Setelah itu dia memutar badannya agar kembali berhadapan denganku. Lalu merapatkan jaket yang membungkus tubuhku.

“Gadis bodoh. Ayo, kita pulang sekarang,” ucapnya sambil menepuk bahuku, lalu berjalan lebih dahulu.

Aku melihatnya berjalan dari belakang. Punggung itu... bahu yang disalah satu sisinya disampirkan tas itu... cara berjalan itu... ditambah rambut yang berkibar karena tiupan angin itu... aku tidak pernah membayangkan seorang Jeon Jungkook yang biasa chat denganku bisa seperti itu. Keren. Memesona. Kalau saja bahu itu ada saat aku sedang terkena masalah seperti sekarang ini.

Eh? Barusan kau pikir apa, Takahashi Akari?

“Sampai kapan kau mau disitu?” tanyanya.

Aku dengan cepat mengikutinya. Akhirnya, kami berjalan sama-sama melewati jalanan kompleks.

“Akari-chan...” panggil Jungkook suatu ketika.

“Hm?”

“Kita ini teman, kan?”

Aku mengangguk pasti. “Tentu saja!”

Kulihat Jungkook tersenyum samar.

“Tapi ada aturan yang harus kau patuhi jika kau mau terus berteman denganku,” tambahku.

“Apa?”

“Kontak fisik tidak diperbolehkan!” ucapku tegas sambil menyilangkan kedua tangan membentuk huruf X.

Jungkook menatapku kesal. “Hei... aturan macam apa itu? Tidak asyik, ah.”

“Kalau begitu yasudah. Berarti kau tidak mau berteman denganku.”

“Eh, bukan seperti itu!” Anak itu menggaruk kepalanya asal. “Baiklah, baiklah. Kontak fisik tidak diperbolehkan. Lalu apa lagi?”

“Cuma itu.”

“Cuma itu?”

“Iya. Cerewet sekali.”

“Hoho, lihat siapa yang bicara. Kadang kau juga sangat cerewet, tahu!”

Aku hanya menggumam tidak jelas.

“Oh iya, Akari-chan punya pacar?”

“Eh?!” Cepat-cepat aku menggeleng. “ Secepat itukah gosip murahan itu menyebar? Kau jangan percaya yang seperti itu! Kau lihat sendiri, kan? Aku fangirlnya G-Dragon. Aku masih suka laki-laki...”

“Kau masih suka laki-laki? Tapi barusan aku tidak bilang kau suka pada gadis,” ujar Jungkook dengan wajah polosnya.

Aku memutar bola mata, merasa kalah. “Eh, bukan begitu. Tapi aku memang tidak punya pacar.”

Jungkook tertawa kecil. “Syukurlah kalau begitu.”

“Hm? Kenapa kau bersyukur?”

“Tidak apa-apa. Tadi kau bilang kemarin kau punya masalah. Masalah apa?”

“Gosip lesbian... apa sudah separah itu?”

Jungkook berhenti berjalan. Ia tiba-tiba memegang bahuku dan menatapku dalam. Sepasang manik hitam bening itu menatap ke satu arah, hanya padaku. Binarnya memancarkan kehangatan. Dan bibir plum itu juga terkatup rapat. Satu detik... dua detik... Oh Tuhan, aku tidak sanggup!

Segera kudorong tubuhnya pelan dan berjalan lebih dahulu. “Sudah kubilang kontak fisik tidak diperbolehkan!”

Terdengar tawa Jungkook dibelakangku. “Benar-benar seorang gadis! Tidak perlu salah tingkah begitu. Dasar,” dia menjitak kepalaku keras.

“Aih! Sakit!” aku mengelus pucuk kepalaku.

Jungkook berjalan mengiringiku. “Astaga bodoh sekali Jeon Jungkook ini. Ya, ya... Takahashi Akari seorang fangirl boygroup mana mungkin dia menyukai sesama gadis? Jeon Jungkook bodoh sekali sampai bisa percaya gosip seperti itu dan malah takut pada Akari. Astaga...”

“Heh! Kau bilang apa? Kau takut padaku?”

Jungkook menatapku kesal. “Lagipula kau! Apa yang kau lakukan dengan Murakami atau siapalah itu hingga difoto kalian bisa terlihat seperti itu? Kau tahu bagaimana kagetnya aku waktu mendengar berita lesbianmu?”

Aku terbahak. “Jadi itu sebabnya kau titip bukuku pada Suzuran?”

“Dia yang menawarkan bantuan lebih dulu.”

“Sama saja, kan,” aku mendengus. “Sudahlah, abaikan saja gosip itu.”

Jungkook melirikku sekilas. “Kau yakin tidak apa-apa? Tahun depan kita akan masuk SMA. Kau mau gosip itu terus melekat padamu?”

Jungkook benar. Aku harus menyelesaikan masalah ini. Kugelengkan kepalaku lemah. “Aku harus bagaimana...” gumamku lirih.

“Kau harus bilang pada mereka kalau kau suka pada laki-laki.”

“Percuma. Aku bilang kalau tahun ini aku tidak tertarik dengan laki-laki, aku mau fokus belajar untuk ujian.”

“Begitu? Ah...” Jungkook memutar mata. “Hei Nona fangirl yang sering membaca fanfict, coba kau pikirkan cara drama?”

Aku berhenti berjalan dan berpikir sebentar sambil mendongak melihat langit yang kelabunya semakin pekat. Dan tiba-tiba sebuah ide muncul dikepalaku.

“Jeon Jungkook!” seruku.

“Apa?” tanyanya.

“Bagaimana nilaimu?”

“Eh?”

“Bagus atau tidak? Kau ranking berapa disekolah yang sebelumnya?”

“Cukup bagus, ranking 4. Kenapa?”

“Sempurna!” aku melonjak girang.

“Kau sehat?” Jungkook berjalan mendekatiku, hendak menempelkan tangannya ke dahiku. Namun dengan cepat kutepis tangannya.

“Karena kau bilang pikirkan cara drama... aku terpikir sesuatu seperti ini,” aku berdeham. “Karena kau pintar, aku jadi suka padamu. Lalu karena menurutmu aku imut, kau suka padaku. Lalu kita berdua jadi akrab dan saling menyukai satu sama lain, bagaimana? Disekolah kau boleh menempel padaku. Anggaplah seperti sasaeng fansku. Eh? Tidak, sasaeng fans terlalu kelewatan. Pokoknya kau jadi sangat suka padaku. Lalu aku tidak tega padamu dan mulai melihatmu... hm, bagaimana?”

Jungkook menghembuskan napas panjang, lalu menggeleng. “Cerita macam apa itu?”

“Lalu harus bagaimana? Jeon Jungkook... ayolah bantu aku!” aku memelas dengan aegyo.

Tiba-tiba anak itu memasang tatapan sok serius. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya kedepan, berusaha menyamai tinggiku. “Dari pada skenario tidak jelas seperti itu, mari kita permudah saja. Aku juga punya skenario yang bisa membantumu.”

“Ba... bagaimana?” tiba-tiba aku jadi gugup sendiri.

Masih dengan tatapan sok seriusnya, Jungkook berujar, “Jadilah pacarku.”

Ini gila. Deg... deg... jantungku, apa kabar? Dan mataku kenapa? Mataku tidak dapat beralih dari matanya. Tatapannya mengunciku. Hanya saja sesuatu didalam sini serasa ada yang mau meledak. Itu tadi hanya untuk membantuku bebas dari gosip lesbian itu, kan? Sadarlah, Takahashi Akari. Anak itu tidak serius. Dia pasti akan tertawa keras jika dia bisa membaca pikiranmu. Tapi kenapa otakku mencernanya seolah nyata?

“Astaga, Ya Tuhan,”

Sontak kami berdua menoleh. Sejak kapan Ai ada dibelakang kami? Sadar sedang ditatap, Ai menggeleng-geleng sambil menggoyangkan tangannya. “Lanjutkan saja pembicaraan kalian, anggap saja aku tidak ada.”

“Bagaimana?” tanya Jungkook lagi.

Aku mengerjap.

“Tunggu apa lagi?! Cepat bilang 'ya', gadis bodoh!” Ai berseru greget seolah sedang menonton drama.

Aku dan Jungkook menatap Ai dengan kesal.

“Ups, maaf.”

“Baiklah,” ucapku singkat. Lantas setelah itu kami membuka pagar rumah masing-masing

Sebelumnya, Jungkook tersenyum kecil, sedangkan Ai gelabakan sendiri dibelakang. “Dia siapa? Kakakmu yang itu?” bisik Jungkook.

Aku mengangguk. Sebelumnya aku memang sering bercerita tentang Ai pada Jungkook. “Dia norak, ya?” balasku berbisik juga

“Tidak lebih norak dibanding kau,” ledeknya.

***


To be continued~

Hola, Olid kembali post FF walau cuma sekitar 2 org yg baca ㅠ.ㅠ *hiks
Untuk pembaca setiaku, Mawar dan Melati, terima kasih banyak~ *lah mereka siapa?
Ah sudahlah. Mulai absurd.

Oh iya, bentar lagi weekend jadi kyknya aku bakal post sering2 kekeke~
Kalimatku masih kurang bagus, jadi mohon bantuannya~ satu komentar dari kalian sangat berarti bagiku. Lafff~ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar