Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance
“Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away,
you’ll shatter...”
[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan
tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]
Butterfly Chapter 2
Room chat dengan gadis itu tak pernah lepas dari pandanganku sejak sepuluh menit lalu. Pesan
terakhir dariku belum dia baca juga. Sial,
dia menghilang ditengah aku bosan seperti ini.
Kupenuhi
paru-paru dengan oksigen musim
gugur, lantas berdiri di balkon dengan bertumpu siku pada pagar
pembatas. Ternyata disini lumayan juga.
Hari ini
cukup cerah. Mataku menangkap beberapa anak tengah berlarian. Mau kemana mereka ditengah hari begini?
Ke taman, kah? Apa ada taman bermain disekitar sini? Andai saja ada seseorang
yang bisa mengajakku berkeliling. Setidaknya aku tidak akan uring-uringan
seperti ini.
Gadis itu...
aku terpikir gadis itu. Gadis yang awalnya kupikir sangat jutek, tak
tahunya rela menemaniku chat
tiap hari. Gadis yang selalu mendengarkanku bercerita apa saja. Gadis yang
selalu berhasil membuatku tertawa dengan kekonyolannya. Gadis yang kadang
memberikan jawaban yang tak bisa kutebak. Gadis yang selalu menganggapku
sebagai penggemarnya. Gadis
yang dalam bayanganku adalah sosok gadis manis yang punya senyum secerah
matahari. Tapi kemana lagi dia sekarang?
Melihat chat-chat
kami tempo hari membuat kedua
sudut bibirku tanpa sadar tertarik keatas, membentuk sebingkai senyum. Terlalu
banyak pembicaraan tak penting dengannya. Lantas tanganku refleks berhenti men-scroll-up. Tepat difoto gadis itu. Gadis yang mengenakan
dress putih tanpa lengan, dengan tangan membentuk huruf “v”, sedang tersenyum
dengan bibir dan matanya. Matanya bulat, tak seperti mata gadis Jepang kebanyakan.
Hidungnya mancung kecil. Bibirnya berwarna kemerahan pudar. Saat tersenyum,
bukan cuma bibirnya saja yang melengkung. Matanya juga. Cantik sekali...
Entah aku
terlalu memikirkannya, atau aku memang melihat gadis itu sedang berjalan menuju
rumahku? Tepat dengan pakaian yang persis seperti difoto. Ah, tidak mungkin...
sekarang sudah musim gugur. Tidak mungkin dia pakai baju setipis itu.
Aku tak terlalu yakin, sebelum bel rumah berbunyi.
***
Satu detik...
dua detik... aku terdiam melihat sosok yang berdiri didepan pintu. Dengan
senyum yang sama, gadis itu menyodorkan kotak berbentuk persegi yang aku yakin
itu milik Ibuku. Dia... dia tidak mungkin bisa berada disini. Maksudku, ini
hanya ilusiku saja atau apa?
“Konnichiwa,
Jeon Jungkook,” ujarnya dengan senyum yang lebih cerah.
Dia barusan
memberi salam dan memanggil namaku. Benarkah? Apa ini? Aku berkedip dua kali. Dia masih ada. Ini benar-benar
dia, kah? “Kau siapa?” Entah kenapa pertanyaan bodoh itu yang keluar dari
mulutku.
Gadis itu
nampak terkejut. “Kau tidak...? Ah, padahal aku sudah pakai gaun musim panas
yang berkibar begini agar kau mengenaliku,” ujarnya sambil sedikit merapikan
poni.
Tidak. Ini
nyata. Mata bulat, rambut hitam panjang, kulit pucat, dan senyum yang seperti
itu... Aku hanya pernah melihatnya dari satu orang. Benar dia gadis itu. Tapi
entah kenapa suaranya terdengar tidak asing.
Kudengar
gadis itu berdeham. “Kurasa pertemuan pertama kita agak berantakan tadi.
Baiklah...” ia mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, namaku Takahashi Akari,
tetangga seberang. Kuharap kita bisa berteman baik sebaik hubungan kita sebagai
sesama fans G-Dragon.”
Aku
memandangi gadis itu dari ujung kepala hingga kaki, lalu kembali ke matanya.
Dia gadis tetangga seberang? Atau gadis yang yang barusan chat denganku di
twitter? Ah, entahlah. Aku bingung sekarang. Dia mengucapkan hal-hal itu
bersamaan. Otakku yang malang ini sepertinya masih menderita jetlag. Aku tidak dapat berpikir apa-apa
lagi. Tapi dia bilang apa? Namanya siapa? “Akari-chan?”
Gadis itu mengangguk-angguk
cepat. Ia sedikit
memiringkan kepala, melirik tangannya yang masih terulur. Dengan cepat aku
menyambut uluran tangannya. Gadis itu menjabat tanganku erat. Lantas senyumnya terkembang lagi. Astaga
senyum itu... “Tentang kue berasnya, arigatou gozaimasu.” Ia sedikit
membungkuk, lalu berbalik.
“Tunggu!” Eh?
Aku bilang apa? Sekarang aku harus bilang apa kalau dia benar-benar berbalik
lagi dan menungguku bicara? Ah entahlah. Yang jelas aku hanya ingin melihat senyumnya lebih lama
lagi.
“Ya?” itu
dia. Dia berbalik lagi.
“Kau
benar-benar Akari-chan, kan?”
“Mm hmm.”
“Tapi kau
bilang kau tetangga seberang...”
“Mm hmm.”
Kedua alisku
terangkat. “Ah, aku mengerti sekarang. Pantas saja tadi pagi reaksimu begitu
waktu melihatku...” aku seperti baru tersadar.
Gadis itu
tertawa kecil.
“Kenapa kau
tidak langsung menyebutkan namamu tadi?”
“Memangnya
kau memberiku kesempatan?”
Aku terdiam.
Dia benar. Lantas aku menatapnya, terlihat dia seperti sedang menunggu jawabanku. Tiba-tiba saja
aku merasa canggung didepannya. Mata bulatnya itu memandangku lekat. Aku berdeham ringan untuk mengusir
canggung. “Gomen...”
“Hm?”
“Gomen, atas
semua hal buruk yang kulakukan padamu.”
Gadis itu
tersenyum. “Sekarang mengerti, kan?”
Aku menangguk
kikuk. Gadis ini persis seperti dalam bayanganku. “Aku masih tidak menyangka
kita bisa bertemu seperti ini.”
“Aku juga.
Dan ternyata kau jauh lebih tinggi dari perkiraanku.”
Aku tertawa.
“Sekarang
apa?” tanyanya.
“Hm?”
“Jika kau
tidak ada perlu lagi, aku akan─”
“Mau temani
aku jalan-jalan?” Bagus. Kata-kata itu meluncur
begitu saja dari mulutku.
Gadis itu
nampak terkejut, namun setelah itu senyumnya terkembang lagi. Lantas ia
mengangguk kecil. “Tapi mau kemana?”
“Kemana saja.
Temani aku berkeliling. Bisa kan?”
Ia memutar
bola mata, membuang pandangan ke sekeliling. “Hmm... baiklah,” ujarnya sembari
meremas ujung gaunnya.
“Syukurlah,”
gumamku.
“Hm?”
“Bukan
apa-apa. Tunggu sebentar, aku mau ganti baju dulu,” aku bergegas pergi
kekamarku.
“Jangan
lama-lama... haaaccchiiih...”
***
Jantungku
hampir melompat keluar setelah melihat siapa yang membukakan pintu untukku
tadi. Tak kusangka orang itu adalah Jeon Jungkook. Sekilas wajahnya memang
terlihat cuek, namun jika
diperhatikan lagi matanya berbinar kehangatan. Sayang sekali ekspresi pertamanya datar. Aku tidak bisa
menebak apa yang ia pikirkan. Tapi aneh sekali, maksudku mengapa dia bertanya siapa aku saat
bereaksi? Ah, sepertinya aku lebih aneh, memakai
gaun musim panas dimusim gugur yang mulai berangin seperti ini dan akhirnya
bersin-bersin. Untung saja tadi Jungkook memberikan jaketnya. Walaupun
kebesaran, tapi sangat membantu membungkus tubuhku yang mungil ini agar tetap
terasa hangat. Anak itu bahkan beberapa kali memastikan bahwa aku memang Akari yang dikenalnya. Apa
responnya memang sangat lambat seperti itu?
Tapi aku
senang, akhirnya dia minta maaf padaku. Persis seperti dia yang kukenal. Aku cukup terkejut saat dia mengajakku jalan-jalan. Dari cara
bicaranya, sepertinya dia anak yang baik.
Sekarang kami
sedang berjalan disepanjang jalan kecil menuju taman bermain sambil mengobrol.
Walau sekarang sudah bulan September, tapi masih terasa sisa musim panasnya.
Musim panas kemarin hanya memberi empat kali hujan. Dan yang terakhir sekitar
hampir dua bulan yang lalu. Jalanan jadi agak kering dan berdebu. Aku menyesal
tadi tidak bawa kacamata. Saat ada angin yang bertiup agak kencang membawa debu
dan masuk ke mataku.
“Tidak
apa-apa?” tanyanya saat melihatku berhenti dan mengucek mata.
Aku menangguk
pelan lalu mengerjap beberapa kali, mengusir debu-debu itu dari mataku. Lantas
aku kembali berjalan. Jungkook sepertinya agak susah menyesuaikan langkahnya dan
langkahku yang kecil. Salah siapa punya kaki terlalu panjang.
“Lamban,”
gumamnya suatu ketika.
“Eh?”
“Tidak
apa-apa...”
“Aku dengar,
lho.”
“Apa?”
“Barusan kau
mengataiku lamban, kan?”
“Tidak.”
“Mengaku
saja.”
“Tidak.”
“Hei, Jeon
Jungkook!”
seruku sok merajuk. Oh tidak, aku menunjukkan sisi diriku yang salah padanya.
Bukan, tadi itu bukan sok merajuk tapi... ah. Aku tidak ingin mengakuinya.
Tiba-tiba anak
itu menoleh. Arah pandang pemilik manik beriris hitam bersih itu seketika
membuat oksigen disekitarku lenyap. Mataku... dia menatap tepat ke mataku. Lalu
sekarang kenapa lagi? Kenapa udara disekelilingku tiba-tiba menghangat. Apa
musim panas kembali?
“Ucapkan sekali lagi,” katanya.
“Eh?” aku menaikkan alis.
“Namaku. Ucapkan sekali lagi.”
“Jeon...
Jungkook?” ujarku ragu-ragu.
“Bukan
seperti itu. Tapi seperti yang tadi.”
“Jeon
Jungkook~ begitu?”
Setelahnya,
anak itu kembali menatap lurus ke depan dan mempercepat jalannya.
Meski melihatnya dari samping, aku sangat yakin dia sedang tersenyum lebar.
Tapi kenapa?
“Hei, apa ada
yang salah saat aku mengucapkan namamu?” aku berusaha menyesuaikan langkahku
dengannya.
Anak itu
menggeleng. “Tidak ada.”
“Lalu
kenapa?”
“Aku suka saat kau
mengucapkan namaku.”
Sesuatu disini rasanya jadi lebih hangat. Eh? Perasaan apa ini? Senang? Bahagia?
Eh, tunggu dulu... kenapa aku harus
senang ketika dia bilang
begitu? Aku memilih melambatkan
langkah, kembali ke ukuran langkahku yang biasa. Kupegangi kedua pipiku. Agak hangat... dan dadaku... rasanya seperti ada sesuatu
yang akan meledak
disana.
“Tapi kenapa?”
tanyaku kemudian.
Anak itu
akhirnya bisa menyesuaikan langkahnya, hingga kami berjalan berdampingan. Lalu
dia menggeleng pelan. “Tidak... hanya saja caramu mengucapkannya berbeda dari
yang lain.”
“Aneh, ya?”
“Tidak aneh.”
“Lalu?” Tiba-tiba tegang melingkupi
perasaanku.
“Hm? Apa, ya?” dia tampak berpikir sebentar. “Terdengar
sedikit, cuma sedikit... manis.”
Aku tertawa kecil. Ucapannya tadi membuatku sedikit lega.
“Wah, apa? Barusan fansku ini bilang aku manis?”
Anak itu tertawa. “Benar-benar Akaaaaaaari.”
Aku ikut tertawa. “Eh, tapi aku tidak menyangka bisa bertemu
denganmu seperti ini. Kukira
kita tidak akan pernah bisa bertemu dalam waktu dekat.”
“Aku juga. Kurasa
harapanku terkabul.”
“Eh? Memangnya kau berharap apa?”
Anak itu menggeleng. “Sudahlah bukan apa-apa,” ia nampak
mengulum senyum. “Oh iya, tamannya
dimana?”
Aku melihat
sekeliling. “Astaga, tamannya
jauh dibelakang.”
***
“Wah, ada yang kosong!” Gadis itu melompat ke salah satu
ayunan usai berseru. Ia lantas menunjuk ayunan disebelahnya dengan dagu, “Ayo,”
Aku menurutinya. Kulirik gadis itu, sedang tersenyum-senyum
sambil berayun dengan mata tertutup. Poninya bergoyang diembus angin. Wajahnya
terlihat damai sekali. Bibir mungil kemerahan pudarnya terkatup rapat.
Sepetinya gadis itu benar-benar menikmati musim gugur
Aku tak menyangka jaket
putih yang kupinjami ternyata bisa sampai lutut gadis itu. Kalau saja ia
bergantung dipohon dengan kaki dilipat, kurasa akan mirip dengan kepompong.
Tunggu... sepertinya akan terlihat lebih mirip dengan ulat kalau dia bergeliat
ditanah.
“Jeon Jungkook,”
Lagi, gadis itu menyebut namaku. Sayangnya tidak sepeti
caranya memanggilku yang tadi. Aku kaget sekali waktu dia tiba-tiba memanggil
namaku manja. Benar-benar manja hingga aku ingin mendengarnya sekali lagi. Lagipula
suaranya memang mendukung untuk itu. Ah, tubuh dan wajahnya juga. Lucu saja, gadis
enambelas tahun berpenampilan seperti anak SD masih bersikap sok manja seperti
itu.
“Kau menertawakan apa?”
Aku? Aku membayangkan kau bergeliat ditanah seperti ulat.
Aku menggeleng. “Bukan apa-apa. Oh iya, kau sudah lama tinggal disini?”
“Aku pindah kesini sejak SD tahun kelima. Kurasa tidak terlalu
lama juga. Waktu pertama pindah taman ini sudah ada. Aku sering bermain disini.
Sayang sekali dulu kau tidak ada, jadi aku sering bermain sendirian...”
Gantian, sekarang aku yang menutup mata sambil mendengarkan
gadis itu mengoceh. Ya, kurasa itu lebih baik daripada harus menjawab
pertanyaannya. Haha, aku memang hebat dalam hal mengalihkan pembicaraan.
“...jatuh dan lututku berdarah. Padahal saat jalan menuju
rumah aku tidak menangis, tapi saat melihat wajah Ibuku tiba-tiba tangisku
pecah. Aneh, ya?”
***
“Akari-chan, dari mana saja kau?”
Aku mendesah
panjang setelah mendapati Ai –kakak perempuanku satu-satunya– sedang duduk dikarpet ruang tengah atas
sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya. Dia sudah pulang.
“Habis main
dengan teman. Kenapa?” jawabku malas.
Ia menatapku
dari ujung kepala hingga kaki. Lantas memicingkan mata. “Aku pulang tadi siang
dan kau tidak ada dirumah. Berapa jam kau diluar sampai sore-sore begini baru
pulang? Dimusim gugur seperti ini pakai baju seperti itu? Kakimu tidak
kedinginan?”
Aku mengangkat bahu, malas menjawab. Ai sangat cerewet. Kadang aku berharap punya
kakak laki-laki saja. “Aku masuk dulu,” ujarku, setelah itu mengunci pintu
kamarku.
Ponselku yang
berada diatas kasur bergetar halus. Ada pesan, dari Murakami Mayu.
Mayuyu: [6:11
PM] “A-chan~ kau sudah kerjakan tugas Bahasa Inggris, belum?”
Bagus. Besok
Senin dan aku lupa tugas itu. Pasti Mayu juga mau menyalin tugasku. “Sayang
sekali, Mayu-chan. Aku juga belum mengerjakannya,” gumamku. Setelah itu kubalas
pesan Mayu, lantas mengambil handuk yang dijemur dibalkon.
Mataku
menampaki balkon seberang. Tidak ada siapapun. Entah kenapa terbersit rasa
kecewa dihatiku. Eh? Memangnya apa yang kuharapkan? Aku segera menggelengkan kepala.
Tapi benar.
Aku memang mengharapkan sesuatu. Aku sedang berharap dia disana... Jeon
Jungkook. Anak itu telah membuatku banyak tertawa hari ini. Aku sadar sekarang
sedang tersenyum sambil terus menatap balkon seberang yang kosong.
Bodoh.
Pergilah mandi sekarang, Takahashi Akari.
***
“Memangnya penting
sekali, ya?” Ayah menyambut Ai yang kembali duduk dengan mata terpicing. Hanya satu sudut bibirnya
yang terangkat keatas. Usai itu, beliau menusuk Ai dengan matanya
Aku jadi
sampai berhenti mengunyah. Suasananya kenapa berubah jadi seperti ini? Tidak
enak sekali.
“Kalau tidak
begitu penting jangan dibalas sekarang. Itu cuma pesan, kan? Lagipula siapa
yang mengirim pesan padamu dijam makan malam seperti ini? Mengganggu saja,”
ucap Ayah sambil terus menatap Ai.
“Sumimasen,”
balas Ai singkat lalu melanjutkan makannya.
Setelah itu,
Ayah juga melanjutkan makan dan suasana mulai membaik. Terdengar Ibu mendesah
panjang disebelahku. Pasti Ibu lebih merasa tidak enak. Hanya dengan satu pesan
singkat bisa membuat Ayah kesal dan merusak suasana makan seperti ini. Beliau
tidak pernah mengizinkan ada ponsel saat makan malam. Dan tindakan Ai barusan —membalas pesan dari pacarnya—, tentu saja
mengundang kekesalan Ayah.
Aku tahu hal
yang tidak diketahui Ayah. Kami tahu, tapi cuma Ayah yang tidak tahu. Ai punya
pacar, anak kenalan Ibu. Aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi aku tahu
sedikit tentangnya. Chikano Tatsuya, dua tahun lebih tua dari Ai. Yang kulihat
dari fotonya, dia sepertinya orang yang baik. Cocok dengan Ai. Mereka baru
menjalani hubungan sekitar sebulan lebih, jadi mungkin sekarang sedang masa
manis-manisnya. Kami semua tidak memberitahu hal itu pada Ayah, takut beliau
tidak suka dengan Tatsuya atau apa. Padahal kan yang pacaran itu Ai.
Ayah adalah
sosok Ayah yang baik, cukup memperhatikan kami, dan tidak pernah kurang dalam
hal memberikan uang jajan padaku. Beliau umat Kristen yang taat, berbeda dengan
Ibu yang merupakan penganut Shinto. Tapi Ayah juga merupakan orang yang kaku,
selalu berpikir serius, juga kadang bisa sangat sinis. Mungkin untuk pekerjaan
beliau, itu tidak masalah. Tapi aku tidak suka Ayah yang suka berprasangka, dan
hanya memikirkan sudut pandangnya sendiri. Mungkin itulah penyebab Ibu pernah
menggugat cerai Ayah.
Ayah dan Ibu
menikah diusia yang sangat muda. Mungkin mereka masih belum terlalu bisa
berpikir dewasa saat itu, hingga rela membiarkan aku —anak bungsu
yang kehadirannya tidak disadari saat kehamilan bulan pertama— dan Ai yang baru masuk TK menghabiskan masa anak-anak tanpa sosok
seorang Ayah.
Hingga usiaku
menginjak sepuluh tahun, Ibu bertemu Ayah di Osaka dan keajaiban apa yang
membuat mereka rujuk kembali. Aku baru tahu bagaimana rasanya punya Ayah empat
tahun terakhir. Sungguh, aku awalnya
sangat-sangat tidak suka pada Ayah. Musik keras dilarang, celana pendek
dilarang, teman laki-laki dilarang... semuanya dilarang.
Entah apa
alasan Ayah tidak suka anaknya bergaul dengan laki-laki, padahal dirinya
sendiri laki-laki. Sampai-sampai aku dimasukkan ke sekolah yang punya kelas
khusus perempuan. Bukan sekolah khusus putri, hanya kelasnya saja yang terpisah
antara laki-laki dan perempuan. Tapi tetap saja kan? Dan jujur saja, dulu aku tidak terlalu suka celana
panjang. Syukur sekali
sekarang aku sudah terbiasa pakai celana training dirumah ketika ada Ayah. Dan
aku mulai terbiasa dengan peraturan-peraturan Ayah yang lain.
Selesai makan
aku mencuci piring dengan Ai. Lantas setelahnya pergi menggosok gigi, cuci
muka, lalu bersiap tidur.
Tidak ada
pesan ucapan selamat tidur dari Jungkook seperti biasanya. Pesan terakhir yang
ia kirim 40 menit lalu adalah pertanyaan.
LINE
Kook: [8:46]
“Kau sekolah dimana?”
***
Sudah kuduga.
Anak itu bertanya dimana sekolahku, karena dia mau bersekolah ditempat yang
sama denganku. Bagus, sekarang kantin dipenuhi topik dengan anak pindahan dari
Korea yang akan masuk besok.
“Tadi waktu
aku mengantarkan buku ke kantor guru, aku melihatnya!”
“Bagaimana?
Bagaimana?”
“Dia tinggi,
wajahnya tampan, dan senyumnya manis sekali... aaa aku berharap dia nyasar ke
kelas kita besok.”
“Omong
kosong, kau. Kelas laki-laki ada di gedung sayap kiri. Dia tidak mungkin bisa nyasar ke kelas kita.”
“Haha, kau
benar juga.”
“Tapi kulihat
dia datang dengan kedua orangtuanya. Anak orang kaya, ya?”
“Mungkin.
Penampilan Ibunya bagaimana?”
“Cantik.
Terlihat masih muda, kalau saja kau tidak menampaki kerutan halus disekitar
matanya. Suaranya lembut.”
“Ah, begitu,
ya? Kau tahu siapa namanya?”
“Melihat dari
caranya tersenyum, sepertinya dia orang yang ramah.”
“Dia punya
pacar tidak, ya?”
“Sepertinya
dia orang yang keren.”
“Aaa aku
penasaran...”
Aku
mendengus. Makan sendirian ditengah-tengah kantin yang ramai, sambil mendengar
gadis-gadis membicarakan Jungkook rasanya... ugh, menyebalkan. Mereka bahkan
tidak pernah bicara langsung padanya. “Namanya Jeon Jungkook, tidak punya
pacar. Hmm, dia memang tinggi. Kakinya panjang, langkahnya lebar. Kalian akan
kesusahan kalau jalan dengannya. Ibunya? Memang cantik. Tapi ketahuilah beliau
sudah punya menantu di Korea dan sedang menunggu kelahiran cucu pertamanya.
Jungkook orang yang ramah... haha, dia bahkan berani mengataiku saat kami
bertemu pertama kali. Keren? Yang benar saja. Dia cerewet sekali,” aku makan
sambil terus bergumam.
Mereka tidak akan
mendengar. Memangnya apa pengaruh yang dibawa gadis pendiam yang sangat biasa
saja dikantin yang dipenuhi gadis-gadis cantik dan berbakat, juga anak
laki-laki tampan dan pandai olahraga ini? Tidak ada.
Berbeda
dengan dirumah, aku lebih pendiam disekolah. Temanku sedikit, bicaraku hemat,
tingkahku juga tidak segila saat aku jadi fangirl. Aku bukannya orang
antisosial, aku gampang kok kalau bicara dengan orang. Hanya saja kebanyakan
dari para siswa disekolahku bukan tipe orang yang cocok berteman denganku. Dan
jujur saja, aku tidak terlalu suka makan sendirian seperti ini. Mengingatkanku
pada masa kecilku dijam makan siang, saat Ibu sedang bekerja dan Ai sedang
sekolah. Makan siang sendirian. Aku benci waktu itu. Tapi untunglah sekarang suasananya tidak sesenyap saat itu.
Seseorang tiba-tiba
duduk dihadapanku dan meletakkan makanannya diatas meja. “Kau sudah dengar
gosipnya?” Itu dia, Mayu baru saja selesai mengantre saat makananku hampir
habis setengah.
Aku
mengangguk kecil. “Kenapa?”
Mayu
berdecak. “Kau cuma bilang 'kenapa'? Dia itu murid pindahan dari Korea!
Bukankah kau suka Korea? Kau sudah dengar tentang wajahnya, kan? Dia itu
sepertinya tipemu sekali. Sangat cocok denganmu. Wajahnya manis, imut... sayang
sekali dia baru muncul saat sudah kita sudah tahun ketiga. Apa kau tidak ter—”
“Wow wow...
kurasa aku tahu arah pembicaraanmu. Dengar ya, Mayu-chan,” aku meneguk makanan
dimulutku, lantas melanjutkan. “Seperti yang kau bilang, kita sudah ditahun
ketiga. Semester depan kita ujian masuk SMU. Tidak ada waktu untuk yang seperti itu.”
Mayu terlihat
tidak puas. “Bukannya begitu. Setidaknya kau harus akrab dengannya dari
sekarang. Jadi kalau sudah SMU...” gadis itu tersenyum penuh arti.
“Nilaiku
sekarang saja sudah pas-pasan. Kau mau membuat nilaiku makin hancur? Bagaimana
aku bisa mendaftar ke sekolah lanjutan nanti? Tidak, tidak. Takahashi Akari
tidak tertarik dengan laki-laki sekarang. Tahun ini aku mau belajar
sungguh-sungguh.”
“Ya ampun,
Takahashi. Kau tidak tertarik dengan laki-laki? Pantas saja kau dan Murakami
terlihat selalu berdua... astaga,” tanpa sengaja seorang anak laki-laki yang —entah namanya siapa dan dari kelas berapa— sedang lewat
dibelakangku sepertinya mendengar pembicaraan kami, tapi tidak sepenuhnya. Dan itu menyebalkan.
“Bukannya
begitu. Kau salah paham. Memangnya tadi kau dengar apa?” tanyaku malas.
“Lihat
wajahku,” ucapnya sambil bertopang dagu diatas meja. “Kau tidak tertarik
padaku?”
Aku
menggeleng.
Ia tiba-tiba berdiri dan mengacungkan telunjuknya didepan
wajahhku. “Nah, kan! Takahashi
kau tidak tertarik dengan laki-laki!” suaranya meninggi.
Kantin
tiba-tiba jadi hening. Semua penghuni kantin menatap aku, anak laki-laki itu,
dan juga Mayu. Maksudnya apa ini?
“Akari bilang
tidak tertarik dengan laki-laki karena mau fokus belajar dulu. Begitu, kan?”
bela Mayu.
Aku
mengangguk.
“Alasan saja,
kau berkata begitu karena kau pasangannya. Kau berusaha melindunginya, kan?
Pasangan lesbian. Astaga, aku merinding.” Anak laki-laki tadi berlalu dan duduk
dikursinya sendiri.
Lantas
setelah itu, penghuni kantin kembali ke aktivitasnya masing-masing. Tapi ada
sedikit yang menggangguku. Anak laki-laki yang lain mungkin tidak peduli. Tapi
gadis-gadis... mereka menatap kami sambil berbisik-bisik. Entah apa yang mereka
bicarakan.
Aku mendesah
panjang. Sudah kucoba bersikap tidak peduli, tapi tetap saja itu mengganggu.
Kantin adalah tempat dimana gosip bermula, menyebar, lantas tercipta berbagai
versi dari gosip yang sebelumnya. Pilihan bagi yang jadi bahan gosip hanya dua,
jika gosip itu tidak terbukti, maka setelah masa-masa gosip itu tak lagi panas
keadaan akan kembali seperti sebelumnya. Tapi jika gosip itu terbukti benar,
atau ada penjelasan yang masuk akal dari si penyebar gosip, maka gosip itu
tidak akan bisa hilang begitu saja. Gosip itu akan terus melekat pada korban
dan akan jadi image tersendiri baginya. Dan apa? Aku dan Mayu pasangan lesbi?
Yang benar saja. Bodoh sekali jika anak-anak itu mau percaya.
“Kenapa
makanmu tidak dilanjutkan?” tanya Mayu.
“Tidak
nafsu.”
“Eh, kau
jangan hiraukan kata-kata anak tadi. Dia cuma salah paham.”
“Kau tidak
sadar?”
“Apanya?”
Aku mendekat
pada Mayu lalu berbicara dengan pelan. “Tadi gadis-gadis sempat menatap kita
sambil berbisik-bisik. Aku punya perasaan tidak enak tentang itu.”
Mayu tertawa
kecil. “Hei... sudahlah. Lagipula apa kita benar-benar terlihat seperti sedang
pacaran?”
“Murakami Mayu!”
“Bercanda...”
Mayu nyengir.
Aku mengambil
wadah makan siangku lantas berdiri, “Aku duluan, ya?”
“Mm hmm. Yang
tadi jangan terlalu dipikirkan.”
***
Usai
mematikan keran air, aku mengambil tisu dan mengelap tanganku, lalu membuangnya
ke bak sampah disamping wastafel. Kulihat dari cermin seorang gadis keluar dari
bilik ketiga dibelakangku. Ia mengambil tempat disebelahku.
“Tidak bareng
Murakami?”
Dia bicara
padaku? Aku menoleh padanya yang sedang memperbaiki letak ikal-ikal rambutnya.
“Iya.”
“Oh...”
ujarnya, lantas berlalu keluar. Setelah itu aku juga ikut keluar dari toilet.
Gadis itu
pasti dari kelas 3-2. Dia memanggil nama Mayu langsung tanpa ada tambahan
senpai. Kelas 3-3 dan 3-4 adalah kelas putra. Sekolah kami punya kuota setiap
tahun, dan untuk angkatanku dapat jatah empat kelas. Setiap kelas hanya dihuni
sekitar 20-25 siswa. Meski begitu aku tetap tidak mengenal semua siswa
seangkatan. Hanya siswi sekelas, dan beberapa yang pernah sekelas denganku yang
kukenal. Aku sendiri ada dikelas 3-1, sama seperti Mayu. Diantara aku dan Mayu,
yang paling dikenal di sekolah adalah Mayu. Dia gadis yang unik. Dia selalu
terlihat dengan rambut sebahunya, tingginya standar —setidaknya dia
lebih tinggi dariku—, pipinya tirus, matanya selalu
terlihat berkilat-kilat. Mayu juga mudah bergaul dengan orang, periang, penuh
percaya diri, murah senyum, dan juga suaranya jernih. Siapapun akan betah
berlama-lama ngobrol dengannya, seperti tidak pernah kehabisan bahan
pembicaraan. Meski begitu dia kadang sok akrab dan cerewet. Entah kenapa aku
bisa dikelilingi orang-orang cerewet.
Aku dan Mayu
sekelas sejak tahun kedua. Dulu aku sama sekali tidak punya teman dekat
disekolah. Aku sendiri juga bingung mengapa Mayu bisa memilihku sebagai teman
akrabnya. Gadis pendiam dengan kacamata besar dan rambut ekor kuda sepertiku
dan Murakami Mayu yang populer itu?
Tapi aku
merasa bersyukur punya teman seperti Mayu. Berkat dia, sifatku disosial media
sudah mulai serupa denganya.
Hanya saja aku lebih
terbuka pada orang disosial media daripada didunia nyata. Karena tidak bertemu
secara langsung, mungkin? Haha, yang jelas karena sifat sok akrabku yang
ditularkan Mayu aku bisa berteman dengan Jungkook.
Jungkook...
anak itu sedang apa sekarang? Beli seragam, kah? Aku lalu merogoh saku rokku,
mendapati ponselku disana. Jungkook tidak ada mengirim pesan apapun. Baiklah,
sepertinya dia memang sibuk. Kuharap bisa menikmati sisa hari tanpa mendengar
anak-anak membicarakan Jungkook lagi. Entah kenapa saat mereka melakukannya
seperti ada rasa posesif dalam diriku. Seperti... “Jungkook milikku. Kalian
atas hak apa berani membicarakannya didepanku? Berhenti membicarakannya. Aku
lebih dulu mengenalnya, aku tahu keluarganya, aku pernah mendengar suaranya,
aku pernah bicara dengannya, aku pernah melihat senyumnya, aku pernah dipinjami
jaket olehnya, aku pernah dibukakan pintu olehnya, aku... aku bukan
siapa-siapanya. Astaga bicara apa aku? Takahashi Akari makin aneh saja kau...
Aduh, kelasku dimana? Aaah bisa gila aku,” aku komat-kamit sendiri. Lalu berbelok
setelah melihat papan bertuliskan 3-1 diatas pintu.
***
“Dia sedang
apa sekarang?” aku menatap chat room-ku dengan gadis itu. “Istirahat siangnya
sudah berakhir, kah?”
“Kau bicara
dengan siapa?” tanya Ibu sembari menggantung seragam sekolah baruku yang sudah
disetrika kedalam lemari.
Aku
menggeleng. “Hanya bicara sendiri.”
Ibu lantas
berbalik menatapku. “Jeon Jungkook,” panggilnya.
“Ya,
Eommeoni?”
Ibu mendesis,
lalu menyipitkan mata
memperhatikan wajahku.
“Kenapa?”
“Kalau
dilihat wajahmu mirip Ibu, ya...”
“Eh?”
“Pantas
saja...”
“Pantas saja
apanya?”
Ibu menarik
napas, lalu duduk dipinggir ranjang, tetap menghadapku yang duduk dikursi
belajar. “Tadi kau lihat gadis-gadis yang berkerumun didepan jendela?”
“Lihat. Murid
baru biasanya selalu dapat perhatian begitu, kan? Paling seminggu juga mereda.”
“Bukan
begitu... Ibu tadi dengar mereka bilang sesuatu seperti... 'Murid baru itu
tampan, ya? Dia keren. Senyumnya manis, ya?' dan yang seperti itu, lah. Kau
tidak dengar?”
“Aku dengar
kok.”
“Lalu kenapa
reaksimu biasa sekali? Kau tidak senang atau apa?”
“Memangnya
Eommeoni senang?”
“Tentu saja!
Putraku dibilang tampan... dan itu berkat Ibu yang cantik. Aaa~” Ibu menautkan kedua telapak tangannya didepan
wajah dan memasang tatapan menerawang. Senyumnya mengembang lebar. Ibu sedang
memuji dirinya sendiri, kah?
Aku mengerjap
sekali. “Eommeoni, tapi tadi lihat anak tetangga seberang dikerumunan
gadis-gadis didepan jendela?”
“Eh? Anak
tetangga seberang yang mana?”
“Itu yang
kemarin mengantar kotak kue.”
“Yang imut
itu? Atau yang kau katai aneh?”
“Keduanya
sama saja,”
“Oh, dia
orang yang sama? Jadi dia sudah baikan denganmu? Tapi penampilannya waktu ikat
rambut dan kacamatanya dilepas beda, ya.”
“Awalnya aku
juga kaget. Tapi syukurlah dia ternyata gadis yang baik.”
“Hmm,
syukurlah kalau begitu. Ibu tidak lihat dia tadi. Kenapa? Dia sekolah ditempat
itu juga?”
Aku sedikit
menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Jadi begini... eh bagaimana
menjelaskannya, ya? Intinya aku sudah mengenalnya sebelum ini. Makanya saat
gadis itu mendengar Eommeoni memanggil namaku dia agak kaget.”
“Eh?
Bagaimana? Jelaskan pada Ibu.”
Kemudian,
tawa Ibu meledak setelah aku menceritakan bagaimana aku bisa kenal dengan Akari
dari awal.
“Suaranya
lucu,” kata Ibu suatu ketika.
“Haha, benar.
Suaranya kecil, agak cempreng. Waktu dia memaksa bicara agak keras jadinya...
lucu,” tambahku.
Akhirnya sisa
siangku dihabiskan dengan membicarakan Akari bersama Ibu.
***
“Akari-chan
baru pulang sekolah?”
Aku menengok
ke kanan kiri. Tidak ada siapapun. Tapi jelas sekali tadi aku mendengar suara
Jungkook.
“Diatas.”
Aku lalu
mendongak menatap anak laki-laki yang sedang tersenyum lebar dibalkon rumahnya.
“Iya,” ucapku singkat, lantas berbalik hendak membuka pagar rumahku.
“Eh! Tunggu dulu!”
“Hm?” aku
berbalik lagi.
Anak itu
terlihat menggaruk bagian belakang kepalanya. “Bisa kesini sebentar? Aku
ketinggalan pelajaran saat pindahan. Bantu aku menyesuaikan diri dengan
pelajaran berbahasa Jepang. Ya?”
Kulirik
arloji kecil yang melingkar dipergelangan tanganku. Baru pukul tiga lewat
sepuluh menit. “Aku ganti baju dulu.”
Benar-benar. Aku mengalami hal berat sepanjang sore ini.
Gadis-gadis dikelas mulai terlihat jaga jarak denganku. Semudah itukah mereka
percaya gosip bodoh tanpa dasar seperti itu? Lagipula, usai makan siang Mayu
juga tidak banyak bicara. Sepertinya dia tidak enak badan. Anak-anak itu...
kalau sampai Mayu sakit karena gosip itu, mati kalian!
***
To be continued~
Holaaa, Olid disini. Gimana chapter 2 nya? Makin gaje, kah? ㅋㅋㅋ Aku update cepet karena FF ini sudah setengah jadi *aku
nulis FF ini sejak pertengahan tahun lalu. Tapi banyak bagian yg aku
revisi. Jadi ya... gitu deh. Udah mulai ada konflik kecil-kecilan dichapter ini.
Myane, diriku tak pandai bikin FF. Oh iya, chapter 2 nya kepanjangan, kah? Aku
ga kasi poster FFnya karena aku ga bisa bikin posternyaxD ada yang mau bikinin
juga boleh wkwk..
Yang sudah berkunjung terima kasih banyak~ aku sangat
menghargai keberadaan kalian, jadi tolong komentarnya ya;) do not be silent
reader, OK? Thank U
Tidak ada komentar:
Posting Komentar