Selasa, 05 Januari 2016

[FF] Butterfly Chapter 2

Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance


Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away, you’ll shatter...


[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]



Butterfly Chapter 2

Room chat dengan gadis itu tak pernah lepas dari pandanganku sejak sepuluh menit lalu. Pesan terakhir dariku belum dia baca juga. Sial, dia menghilang ditengah aku bosan seperti ini.

Kupenuhi paru-paru dengan oksigen musim gugur, lantas berdiri di balkon dengan bertumpu siku pada pagar pembatas. Ternyata disini lumayan juga.

Hari ini cukup cerah. Mataku menangkap beberapa anak tengah berlarian. Mau kemana mereka ditengah hari begini? Ke taman, kah? Apa ada taman bermain disekitar sini? Andai saja ada seseorang yang bisa mengajakku berkeliling. Setidaknya aku tidak akan uring-uringan seperti ini.

Gadis itu... aku terpikir gadis itu. Gadis yang awalnya kupikir sangat jutek, tak tahunya rela menemaniku chat tiap hari. Gadis yang selalu mendengarkanku bercerita apa saja. Gadis yang selalu berhasil membuatku tertawa dengan kekonyolannya. Gadis yang kadang memberikan jawaban yang tak bisa kutebak. Gadis yang selalu menganggapku sebagai penggemarnya. Gadis yang dalam bayanganku adalah sosok gadis manis yang punya senyum secerah matahari. Tapi kemana lagi dia sekarang?

Melihat chat-chat kami tempo hari membuat kedua sudut bibirku tanpa sadar tertarik keatas, membentuk sebingkai senyum. Terlalu banyak pembicaraan tak penting dengannya. Lantas tanganku refleks berhenti men-scroll-up. Tepat difoto gadis itu. Gadis yang mengenakan dress putih tanpa lengan, dengan tangan membentuk huruf “v”, sedang tersenyum dengan bibir dan matanya. Matanya bulat, tak seperti mata gadis Jepang kebanyakan. Hidungnya mancung kecil. Bibirnya berwarna kemerahan pudar. Saat tersenyum, bukan cuma bibirnya saja yang melengkung. Matanya juga. Cantik sekali...

Entah aku terlalu memikirkannya, atau aku memang melihat gadis itu sedang berjalan menuju rumahku? Tepat dengan pakaian yang persis seperti difoto. Ah, tidak mungkin... sekarang sudah musim gugur. Tidak mungkin dia pakai baju setipis itu.

Aku tak terlalu yakin, sebelum bel rumah berbunyi.

***

Satu detik... dua detik... aku terdiam melihat sosok yang berdiri didepan pintu. Dengan senyum yang sama, gadis itu menyodorkan kotak berbentuk persegi yang aku yakin itu milik Ibuku. Dia... dia tidak mungkin bisa berada disini. Maksudku, ini hanya ilusiku saja atau apa?

“Konnichiwa, Jeon Jungkook,” ujarnya dengan senyum yang lebih cerah.

Dia barusan memberi salam dan memanggil namaku. Benarkah? Apa ini? Aku berkedip dua kali. Dia masih ada. Ini benar-benar dia, kah? “Kau siapa?” Entah kenapa pertanyaan bodoh itu yang keluar dari mulutku.

Gadis itu nampak terkejut. “Kau tidak...? Ah, padahal aku sudah pakai gaun musim panas yang berkibar begini agar kau mengenaliku,” ujarnya sambil sedikit merapikan poni.

Tidak. Ini nyata. Mata bulat, rambut hitam panjang, kulit pucat, dan senyum yang seperti itu... Aku hanya pernah melihatnya dari satu orang. Benar dia gadis itu. Tapi entah kenapa suaranya terdengar tidak asing.

Kudengar gadis itu berdeham. “Kurasa pertemuan pertama kita agak berantakan tadi. Baiklah...” ia mengulurkan tangannya. “Perkenalkan, namaku Takahashi Akari, tetangga seberang. Kuharap kita bisa berteman baik sebaik hubungan kita sebagai sesama fans G-Dragon.”

Aku memandangi gadis itu dari ujung kepala hingga kaki, lalu kembali ke matanya. Dia gadis tetangga seberang? Atau gadis yang yang barusan chat denganku di twitter? Ah, entahlah. Aku bingung sekarang. Dia mengucapkan hal-hal itu bersamaan. Otakku yang malang ini sepertinya masih menderita jetlag. Aku tidak dapat berpikir apa-apa lagi. Tapi dia bilang apa? Namanya siapa? “Akari-chan?”

Gadis itu mengangguk-angguk cepat. Ia sedikit memiringkan kepala, melirik tangannya yang masih terulur. Dengan cepat aku menyambut uluran tangannya. Gadis itu menjabat tanganku erat. Lantas senyumnya terkembang lagi. Astaga senyum itu... “Tentang kue berasnya, arigatou gozaimasu.” Ia sedikit membungkuk, lalu berbalik.

“Tunggu!” Eh? Aku bilang apa? Sekarang aku harus bilang apa kalau dia benar-benar berbalik lagi dan menungguku bicara? Ah entahlah. Yang jelas aku hanya ingin melihat senyumnya lebih lama lagi.

“Ya?” itu dia. Dia berbalik lagi.

“Kau benar-benar Akari-chan, kan?”

“Mm hmm.”

“Tapi kau bilang kau tetangga seberang...”

“Mm hmm.”

Kedua alisku terangkat. “Ah, aku mengerti sekarang. Pantas saja tadi pagi reaksimu begitu waktu melihatku...” aku seperti baru tersadar.

Gadis itu tertawa kecil.

“Kenapa kau tidak langsung menyebutkan namamu tadi?”

“Memangnya kau memberiku kesempatan?”

Aku terdiam. Dia benar. Lantas aku menatapnya, terlihat dia seperti sedang menunggu jawabanku. Tiba-tiba saja aku merasa canggung didepannya. Mata bulatnya itu memandangku lekat. Aku berdeham ringan untuk mengusir canggung. “Gomen...”

“Hm?”

“Gomen, atas semua hal buruk yang kulakukan padamu.”

Gadis itu tersenyum. “Sekarang mengerti, kan?”

Aku menangguk kikuk. Gadis ini persis seperti dalam bayanganku. “Aku masih tidak menyangka kita bisa bertemu seperti ini.”

“Aku juga. Dan ternyata kau jauh lebih tinggi dari perkiraanku.”

Aku tertawa.

“Sekarang apa?” tanyanya.

“Hm?”

“Jika kau tidak ada perlu lagi, aku akan─”

“Mau temani aku jalan-jalan?” Bagus. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Gadis itu nampak terkejut, namun setelah itu senyumnya terkembang lagi. Lantas ia mengangguk kecil. “Tapi mau kemana?”

“Kemana saja. Temani aku berkeliling. Bisa kan?”

Ia memutar bola mata, membuang pandangan ke sekeliling. “Hmm... baiklah,” ujarnya sembari meremas ujung gaunnya.

“Syukurlah,” gumamku.

“Hm?”

“Bukan apa-apa. Tunggu sebentar, aku mau ganti baju dulu,” aku bergegas pergi kekamarku.

“Jangan lama-lama... haaaccchiiih...”

***

Jantungku hampir melompat keluar setelah melihat siapa yang membukakan pintu untukku tadi. Tak kusangka orang itu adalah Jeon Jungkook. Sekilas wajahnya memang terlihat cuek, namun jika diperhatikan lagi matanya berbinar kehangatan. Sayang sekali ekspresi pertamanya datar. Aku tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan. Tapi aneh sekali, maksudku mengapa dia bertanya siapa aku saat bereaksi? Ah, sepertinya aku lebih aneh, memakai gaun musim panas dimusim gugur yang mulai berangin seperti ini dan akhirnya bersin-bersin. Untung saja tadi Jungkook memberikan jaketnya. Walaupun kebesaran, tapi sangat membantu membungkus tubuhku yang mungil ini agar tetap terasa hangat. Anak itu bahkan beberapa kali memastikan bahwa aku memang Akari yang dikenalnya. Apa responnya memang sangat lambat seperti itu?

Tapi aku senang, akhirnya dia minta maaf padaku. Persis seperti dia yang kukenal. Aku cukup terkejut saat dia mengajakku jalan-jalan. Dari cara bicaranya, sepertinya dia anak yang baik.

Sekarang kami sedang berjalan disepanjang jalan kecil menuju taman bermain sambil mengobrol. Walau sekarang sudah bulan September, tapi masih terasa sisa musim panasnya. Musim panas kemarin hanya memberi empat kali hujan. Dan yang terakhir sekitar hampir dua bulan yang lalu. Jalanan jadi agak kering dan berdebu. Aku menyesal tadi tidak bawa kacamata. Saat ada angin yang bertiup agak kencang membawa debu dan masuk ke mataku.

“Tidak apa-apa?” tanyanya saat melihatku berhenti dan mengucek mata.

Aku menangguk pelan lalu mengerjap beberapa kali, mengusir debu-debu itu dari mataku. Lantas aku kembali berjalan. Jungkook sepertinya agak susah menyesuaikan langkahnya dan langkahku yang kecil. Salah siapa punya kaki terlalu panjang.

“Lamban,” gumamnya suatu ketika.

“Eh?”

“Tidak apa-apa...”

“Aku dengar, lho.”

“Apa?”

“Barusan kau mengataiku lamban, kan?”

“Tidak.”

“Mengaku saja.”

“Tidak.”

“Hei, Jeon Jungkook! seruku sok merajuk. Oh tidak, aku menunjukkan sisi diriku yang salah padanya. Bukan, tadi itu bukan sok merajuk tapi... ah. Aku tidak ingin mengakuinya.

Tiba-tiba anak itu menoleh. Arah pandang pemilik manik beriris hitam bersih itu seketika membuat oksigen disekitarku lenyap. Mataku... dia menatap tepat ke mataku. Lalu sekarang kenapa lagi? Kenapa udara disekelilingku tiba-tiba menghangat. Apa musim panas kembali?

“Ucapkan sekali lagi,” katanya.

“Eh?” aku menaikkan alis.

“Namaku. Ucapkan sekali lagi.”

“Jeon... Jungkook?” ujarku ragu-ragu.

“Bukan seperti itu. Tapi seperti yang tadi.”

“Jeon Jungkook~ begitu?”

Setelahnya, anak itu kembali menatap lurus ke depan dan mempercepat jalannya. Meski melihatnya dari samping, aku sangat yakin dia sedang tersenyum lebar. Tapi kenapa?

“Hei, apa ada yang salah saat aku mengucapkan namamu?” aku berusaha menyesuaikan langkahku dengannya.

Anak itu menggeleng. “Tidak ada.”

“Lalu kenapa?”

“Aku suka saat kau mengucapkan namaku.”

Sesuatu disini rasanya jadi lebih hangat. Eh? Perasaan apa ini? Senang? Bahagia? Eh, tunggu dulu... kenapa aku harus senang ketika dia bilang begitu? Aku memilih melambatkan langkah, kembali ke ukuran langkahku yang biasa. Kupegangi  kedua pipiku. Agak hangat... dan dadaku... rasanya seperti ada sesuatu yang akan meledak disana.

“Tapi kenapa?” tanyaku kemudian.

Anak itu akhirnya bisa menyesuaikan langkahnya, hingga kami berjalan berdampingan. Lalu dia menggeleng pelan. “Tidak... hanya saja caramu mengucapkannya berbeda dari yang lain.”

“Aneh, ya?”

“Tidak aneh.”

Lalu? Tiba-tiba tegang melingkupi perasaanku.

“Hm? Apa, ya?” dia tampak berpikir sebentar. “Terdengar sedikit, cuma sedikit... manis.”

Aku tertawa kecil. Ucapannya tadi membuatku sedikit lega.

“Wah, apa? Barusan fansku ini bilang aku manis?”

Anak itu tertawa. “Benar-benar Akaaaaaaari.”

Aku ikut tertawa. “Eh, tapi aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu seperti ini. Kukira kita tidak akan pernah bisa bertemu dalam waktu dekat.”

“Aku juga. Kurasa harapanku terkabul.”

“Eh? Memangnya kau berharap apa?”

Anak itu menggeleng. “Sudahlah bukan apa-apa,” ia nampak mengulum senyum. “Oh iya, tamannya dimana?”

Aku melihat sekeliling. “Astaga, tamannya jauh dibelakang.”

***

“Wah, ada yang kosong!” Gadis itu melompat ke salah satu ayunan usai berseru. Ia lantas menunjuk ayunan disebelahnya dengan dagu, “Ayo,”

Aku menurutinya. Kulirik gadis itu, sedang tersenyum-senyum sambil berayun dengan mata tertutup. Poninya bergoyang diembus angin. Wajahnya terlihat damai sekali. Bibir mungil kemerahan pudarnya terkatup rapat. Sepetinya gadis itu benar-benar menikmati musim gugur

 Aku tak menyangka jaket putih yang kupinjami ternyata bisa sampai lutut gadis itu. Kalau saja ia bergantung dipohon dengan kaki dilipat, kurasa akan mirip dengan kepompong. Tunggu... sepertinya akan terlihat lebih mirip dengan ulat kalau dia bergeliat ditanah.

“Jeon Jungkook,”

Lagi, gadis itu menyebut namaku. Sayangnya tidak sepeti caranya memanggilku yang tadi. Aku kaget sekali waktu dia tiba-tiba memanggil namaku manja. Benar-benar manja hingga aku ingin mendengarnya sekali lagi. Lagipula suaranya memang mendukung untuk itu. Ah, tubuh dan wajahnya juga. Lucu saja, gadis enambelas tahun berpenampilan seperti anak SD masih bersikap sok manja seperti itu.

“Kau menertawakan apa?”

Aku? Aku membayangkan kau bergeliat ditanah seperti ulat. Aku menggeleng. “Bukan apa-apa. Oh iya, kau sudah lama tinggal disini?”

“Aku pindah kesini sejak SD tahun kelima. Kurasa tidak terlalu lama juga. Waktu pertama pindah taman ini sudah ada. Aku sering bermain disini. Sayang sekali dulu kau tidak ada, jadi aku sering bermain sendirian...”

Gantian, sekarang aku yang menutup mata sambil mendengarkan gadis itu mengoceh. Ya, kurasa itu lebih baik daripada harus menjawab pertanyaannya. Haha, aku memang hebat dalam hal mengalihkan pembicaraan.

“...jatuh dan lututku berdarah. Padahal saat jalan menuju rumah aku tidak menangis, tapi saat melihat wajah Ibuku tiba-tiba tangisku pecah. Aneh, ya?”

***

 “Akari-chan, dari mana saja kau?”

Aku mendesah panjang setelah mendapati Ai –kakak perempuanku satu-satunya– sedang duduk dikarpet ruang tengah atas sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya. Dia sudah pulang.

“Habis main dengan teman. Kenapa?” jawabku malas.

Ia menatapku dari ujung kepala hingga kaki. Lantas memicingkan mata. “Aku pulang tadi siang dan kau tidak ada dirumah. Berapa jam kau diluar sampai sore-sore begini baru pulang? Dimusim gugur seperti ini pakai baju seperti itu? Kakimu tidak kedinginan?”

Aku mengangkat bahu, malas menjawab. Ai sangat cerewet. Kadang aku berharap punya kakak laki-laki saja. “Aku masuk dulu,” ujarku, setelah itu mengunci pintu kamarku.

Ponselku yang berada diatas kasur bergetar halus. Ada pesan, dari Murakami Mayu.

Mayuyu: [6:11 PM] “A-chan~ kau sudah kerjakan tugas Bahasa Inggris, belum?”

Bagus. Besok Senin dan aku lupa tugas itu. Pasti Mayu juga mau menyalin tugasku. “Sayang sekali, Mayu-chan. Aku juga belum mengerjakannya,” gumamku. Setelah itu kubalas pesan Mayu, lantas mengambil handuk yang dijemur dibalkon.

Mataku menampaki balkon seberang. Tidak ada siapapun. Entah kenapa terbersit rasa kecewa dihatiku. Eh? Memangnya apa yang kuharapkan? Aku segera menggelengkan kepala.

Tapi benar. Aku memang mengharapkan sesuatu. Aku sedang berharap dia disana... Jeon Jungkook. Anak itu telah membuatku banyak tertawa hari ini. Aku sadar sekarang sedang tersenyum sambil terus menatap balkon seberang yang kosong.

Bodoh. Pergilah mandi sekarang, Takahashi Akari.

***

“Memangnya penting sekali, ya?” Ayah menyambut Ai yang kembali duduk dengan mata terpicing. Hanya satu sudut bibirnya yang terangkat keatas. Usai itu, beliau menusuk Ai dengan matanya

Aku jadi sampai berhenti mengunyah. Suasananya kenapa berubah jadi seperti ini? Tidak enak sekali.

“Kalau tidak begitu penting jangan dibalas sekarang. Itu cuma pesan, kan? Lagipula siapa yang mengirim pesan padamu dijam makan malam seperti ini? Mengganggu saja,” ucap Ayah sambil terus menatap Ai.

“Sumimasen,” balas Ai singkat lalu melanjutkan makannya.

Setelah itu, Ayah juga melanjutkan makan dan suasana mulai membaik. Terdengar Ibu mendesah panjang disebelahku. Pasti Ibu lebih merasa tidak enak. Hanya dengan satu pesan singkat bisa membuat Ayah kesal dan merusak suasana makan seperti ini. Beliau tidak pernah mengizinkan ada ponsel saat makan malam. Dan tindakan Ai barusan membalas pesan dari pacarnya, tentu saja mengundang kekesalan Ayah.

Aku tahu hal yang tidak diketahui Ayah. Kami tahu, tapi cuma Ayah yang tidak tahu. Ai punya pacar, anak kenalan Ibu. Aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi aku tahu sedikit tentangnya. Chikano Tatsuya, dua tahun lebih tua dari Ai. Yang kulihat dari fotonya, dia sepertinya orang yang baik. Cocok dengan Ai. Mereka baru menjalani hubungan sekitar sebulan lebih, jadi mungkin sekarang sedang masa manis-manisnya. Kami semua tidak memberitahu hal itu pada Ayah, takut beliau tidak suka dengan Tatsuya atau apa. Padahal kan yang pacaran itu Ai.

Ayah adalah sosok Ayah yang baik, cukup memperhatikan kami, dan tidak pernah kurang dalam hal memberikan uang jajan padaku. Beliau umat Kristen yang taat, berbeda dengan Ibu yang merupakan penganut Shinto. Tapi Ayah juga merupakan orang yang kaku, selalu berpikir serius, juga kadang bisa sangat sinis. Mungkin untuk pekerjaan beliau, itu tidak masalah. Tapi aku tidak suka Ayah yang suka berprasangka, dan hanya memikirkan sudut pandangnya sendiri. Mungkin itulah penyebab Ibu pernah menggugat cerai Ayah.

Ayah dan Ibu menikah diusia yang sangat muda. Mungkin mereka masih belum terlalu bisa berpikir dewasa saat itu, hingga rela membiarkan aku anak bungsu yang kehadirannya tidak disadari saat kehamilan bulan pertama dan Ai yang baru masuk TK menghabiskan masa anak-anak tanpa sosok seorang Ayah.

Hingga usiaku menginjak sepuluh tahun, Ibu bertemu Ayah di Osaka dan keajaiban apa yang membuat mereka rujuk kembali. Aku baru tahu bagaimana rasanya punya Ayah empat  tahun terakhir. Sungguh, aku awalnya sangat-sangat tidak suka pada Ayah. Musik keras dilarang, celana pendek dilarang, teman laki-laki dilarang... semuanya dilarang.

Entah apa alasan Ayah tidak suka anaknya bergaul dengan laki-laki, padahal dirinya sendiri laki-laki. Sampai-sampai aku dimasukkan ke sekolah yang punya kelas khusus perempuan. Bukan sekolah khusus putri, hanya kelasnya saja yang terpisah antara laki-laki dan perempuan. Tapi tetap saja kan? Dan jujur saja, dulu aku tidak terlalu suka celana panjang. Syukur sekali sekarang aku sudah terbiasa pakai celana training dirumah ketika ada Ayah. Dan aku mulai terbiasa dengan peraturan-peraturan Ayah yang lain.

Selesai makan aku mencuci piring dengan Ai. Lantas setelahnya pergi menggosok gigi, cuci muka, lalu bersiap tidur.

Tidak ada pesan ucapan selamat tidur dari Jungkook seperti biasanya. Pesan terakhir yang ia kirim 40 menit lalu adalah pertanyaan.

LINE
Kook: [8:46] “Kau sekolah dimana?”

***

Sudah kuduga. Anak itu bertanya dimana sekolahku, karena dia mau bersekolah ditempat yang sama denganku. Bagus, sekarang kantin dipenuhi topik dengan anak pindahan dari Korea yang akan masuk besok.

“Tadi waktu aku mengantarkan buku ke kantor guru, aku melihatnya!”

“Bagaimana? Bagaimana?”

“Dia tinggi, wajahnya tampan, dan senyumnya manis sekali... aaa aku berharap dia nyasar ke kelas kita besok.”

“Omong kosong, kau. Kelas laki-laki ada di gedung sayap kiri. Dia tidak mungkin bisa nyasar ke kelas kita.”

“Haha, kau benar juga.”

“Tapi kulihat dia datang dengan kedua orangtuanya. Anak orang kaya, ya?”

“Mungkin. Penampilan Ibunya bagaimana?”

“Cantik. Terlihat masih muda, kalau saja kau tidak menampaki kerutan halus disekitar matanya. Suaranya lembut.”

“Ah, begitu, ya? Kau tahu siapa namanya?”

“Melihat dari caranya tersenyum, sepertinya dia orang yang ramah.”

“Dia punya pacar tidak, ya?”

“Sepertinya dia orang yang keren.”

“Aaa aku penasaran...”

Aku mendengus. Makan sendirian ditengah-tengah kantin yang ramai, sambil mendengar gadis-gadis membicarakan Jungkook rasanya... ugh, menyebalkan. Mereka bahkan tidak pernah bicara langsung padanya. “Namanya Jeon Jungkook, tidak punya pacar. Hmm, dia memang tinggi. Kakinya panjang, langkahnya lebar. Kalian akan kesusahan kalau jalan dengannya. Ibunya? Memang cantik. Tapi ketahuilah beliau sudah punya menantu di Korea dan sedang menunggu kelahiran cucu pertamanya. Jungkook orang yang ramah... haha, dia bahkan berani mengataiku saat kami bertemu pertama kali. Keren? Yang benar saja. Dia cerewet sekali,” aku makan sambil terus bergumam.

Mereka tidak akan mendengar. Memangnya apa pengaruh yang dibawa gadis pendiam yang sangat biasa saja dikantin yang dipenuhi gadis-gadis cantik dan berbakat, juga anak laki-laki tampan dan pandai olahraga ini? Tidak ada.

Berbeda dengan dirumah, aku lebih pendiam disekolah. Temanku sedikit, bicaraku hemat, tingkahku juga tidak segila saat aku jadi fangirl. Aku bukannya orang antisosial, aku gampang kok kalau bicara dengan orang. Hanya saja kebanyakan dari para siswa disekolahku bukan tipe orang yang cocok berteman denganku. Dan jujur saja, aku tidak terlalu suka makan sendirian seperti ini. Mengingatkanku pada masa kecilku dijam makan siang, saat Ibu sedang bekerja dan Ai sedang sekolah. Makan siang sendirian. Aku benci waktu itu. Tapi untunglah sekarang suasananya tidak sesenyap saat itu.

Seseorang tiba-tiba duduk dihadapanku dan meletakkan makanannya diatas meja. “Kau sudah dengar gosipnya?” Itu dia, Mayu baru saja selesai mengantre saat makananku hampir habis setengah.

Aku mengangguk kecil. “Kenapa?”

Mayu berdecak. “Kau cuma bilang 'kenapa'? Dia itu murid pindahan dari Korea! Bukankah kau suka Korea? Kau sudah dengar tentang wajahnya, kan? Dia itu sepertinya tipemu sekali. Sangat cocok denganmu. Wajahnya manis, imut... sayang sekali dia baru muncul saat sudah kita sudah tahun ketiga. Apa kau tidak ter

“Wow wow... kurasa aku tahu arah pembicaraanmu. Dengar ya, Mayu-chan,” aku meneguk makanan dimulutku, lantas melanjutkan. “Seperti yang kau bilang, kita sudah ditahun ketiga. Semester depan kita ujian masuk SMU. Tidak ada waktu untuk yang seperti itu.”

Mayu terlihat tidak puas. “Bukannya begitu. Setidaknya kau harus akrab dengannya dari sekarang. Jadi kalau sudah SMU...” gadis itu tersenyum penuh arti.

“Nilaiku sekarang saja sudah pas-pasan. Kau mau membuat nilaiku makin hancur? Bagaimana aku bisa mendaftar ke sekolah lanjutan nanti? Tidak, tidak. Takahashi Akari tidak tertarik dengan laki-laki sekarang. Tahun ini aku mau belajar sungguh-sungguh.”

“Ya ampun, Takahashi. Kau tidak tertarik dengan laki-laki? Pantas saja kau dan Murakami terlihat selalu berdua... astaga,” tanpa sengaja seorang anak laki-laki yang entah namanya siapa dan dari kelas berapa sedang lewat dibelakangku sepertinya mendengar pembicaraan kami, tapi tidak sepenuhnya. Dan itu menyebalkan.

“Bukannya begitu. Kau salah paham. Memangnya tadi kau dengar apa?” tanyaku malas.

“Lihat wajahku,” ucapnya sambil bertopang dagu diatas meja. “Kau tidak tertarik padaku?”

Aku menggeleng.

Ia tiba-tiba berdiri dan mengacungkan telunjuknya didepan wajahhku. “Nah, kan! Takahashi kau tidak tertarik dengan laki-laki!” suaranya meninggi.

Kantin tiba-tiba jadi hening. Semua penghuni kantin menatap aku, anak laki-laki itu, dan juga Mayu. Maksudnya apa ini?

“Akari bilang tidak tertarik dengan laki-laki karena mau fokus belajar dulu. Begitu, kan?” bela Mayu.

Aku mengangguk.

“Alasan saja, kau berkata begitu karena kau pasangannya. Kau berusaha melindunginya, kan? Pasangan lesbian. Astaga, aku merinding.” Anak laki-laki tadi berlalu dan duduk dikursinya sendiri.

Lantas setelah itu, penghuni kantin kembali ke aktivitasnya masing-masing. Tapi ada sedikit yang menggangguku. Anak laki-laki yang lain mungkin tidak peduli. Tapi gadis-gadis... mereka menatap kami sambil berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bicarakan.

Aku mendesah panjang. Sudah kucoba bersikap tidak peduli, tapi tetap saja itu mengganggu. Kantin adalah tempat dimana gosip bermula, menyebar, lantas tercipta berbagai versi dari gosip yang sebelumnya. Pilihan bagi yang jadi bahan gosip hanya dua, jika gosip itu tidak terbukti, maka setelah masa-masa gosip itu tak lagi panas keadaan akan kembali seperti sebelumnya. Tapi jika gosip itu terbukti benar, atau ada penjelasan yang masuk akal dari si penyebar gosip, maka gosip itu tidak akan bisa hilang begitu saja. Gosip itu akan terus melekat pada korban dan akan jadi image tersendiri baginya. Dan apa? Aku dan Mayu pasangan lesbi? Yang benar saja. Bodoh sekali jika anak-anak itu mau percaya.

“Kenapa makanmu tidak dilanjutkan?” tanya Mayu.

“Tidak nafsu.”

“Eh, kau jangan hiraukan kata-kata anak tadi. Dia cuma salah paham.”

“Kau tidak sadar?”

“Apanya?”

Aku mendekat pada Mayu lalu berbicara dengan pelan. “Tadi gadis-gadis sempat menatap kita sambil berbisik-bisik. Aku punya perasaan tidak enak tentang itu.”

Mayu tertawa kecil. “Hei... sudahlah. Lagipula apa kita benar-benar terlihat seperti sedang pacaran?”

“Murakami Mayu!”

“Bercanda...” Mayu nyengir.

Aku mengambil wadah makan siangku lantas berdiri, “Aku duluan, ya?”

“Mm hmm. Yang tadi jangan terlalu dipikirkan.”

***

Usai mematikan keran air, aku mengambil tisu dan mengelap tanganku, lalu membuangnya ke bak sampah disamping wastafel. Kulihat dari cermin seorang gadis keluar dari bilik ketiga dibelakangku. Ia mengambil tempat disebelahku.

“Tidak bareng Murakami?”

Dia bicara padaku? Aku menoleh padanya yang sedang memperbaiki letak ikal-ikal rambutnya. “Iya.”

“Oh...” ujarnya, lantas berlalu keluar. Setelah itu aku juga ikut keluar dari toilet.

Gadis itu pasti dari kelas 3-2. Dia memanggil nama Mayu langsung tanpa ada tambahan senpai. Kelas 3-3 dan 3-4 adalah kelas putra. Sekolah kami punya kuota setiap tahun, dan untuk angkatanku dapat jatah empat kelas. Setiap kelas hanya dihuni sekitar 20-25 siswa. Meski begitu aku tetap tidak mengenal semua siswa seangkatan. Hanya siswi sekelas, dan beberapa yang pernah sekelas denganku yang kukenal. Aku sendiri ada dikelas 3-1, sama seperti Mayu. Diantara aku dan Mayu, yang paling dikenal di sekolah adalah Mayu. Dia gadis yang unik. Dia selalu terlihat dengan rambut sebahunya, tingginya standar setidaknya dia lebih tinggi dariku, pipinya tirus, matanya selalu terlihat berkilat-kilat. Mayu juga mudah bergaul dengan orang, periang, penuh percaya diri, murah senyum, dan juga suaranya jernih. Siapapun akan betah berlama-lama ngobrol dengannya, seperti tidak pernah kehabisan bahan pembicaraan. Meski begitu dia kadang sok akrab dan cerewet. Entah kenapa aku bisa dikelilingi orang-orang cerewet.

Aku dan Mayu sekelas sejak tahun kedua. Dulu aku sama sekali tidak punya teman dekat disekolah. Aku sendiri juga bingung mengapa Mayu bisa memilihku sebagai teman akrabnya. Gadis pendiam dengan kacamata besar dan rambut ekor kuda sepertiku dan Murakami Mayu yang populer itu?

Tapi aku merasa bersyukur punya teman seperti Mayu. Berkat dia, sifatku disosial media sudah mulai serupa denganya. Hanya saja aku lebih terbuka pada orang disosial media daripada didunia nyata. Karena tidak bertemu secara langsung, mungkin? Haha, yang jelas karena sifat sok akrabku yang ditularkan Mayu aku bisa berteman dengan Jungkook.

Jungkook... anak itu sedang apa sekarang? Beli seragam, kah? Aku lalu merogoh saku rokku, mendapati ponselku disana. Jungkook tidak ada mengirim pesan apapun. Baiklah, sepertinya dia memang sibuk. Kuharap bisa menikmati sisa hari tanpa mendengar anak-anak membicarakan Jungkook lagi. Entah kenapa saat mereka melakukannya seperti ada rasa posesif dalam diriku. Seperti... “Jungkook milikku. Kalian atas hak apa berani membicarakannya didepanku? Berhenti membicarakannya. Aku lebih dulu mengenalnya, aku tahu keluarganya, aku pernah mendengar suaranya, aku pernah bicara dengannya, aku pernah melihat senyumnya, aku pernah dipinjami jaket olehnya, aku pernah dibukakan pintu olehnya, aku... aku bukan siapa-siapanya. Astaga bicara apa aku? Takahashi Akari makin aneh saja kau... Aduh, kelasku dimana? Aaah bisa gila aku,” aku komat-kamit sendiri. Lalu berbelok setelah melihat papan bertuliskan 3-1 diatas pintu.

***

“Dia sedang apa sekarang?” aku menatap chat room-ku dengan gadis itu. “Istirahat siangnya sudah berakhir, kah?”

“Kau bicara dengan siapa?” tanya Ibu sembari menggantung seragam sekolah baruku yang sudah disetrika kedalam lemari.

Aku menggeleng. “Hanya bicara sendiri.”

Ibu lantas berbalik menatapku. “Jeon Jungkook,” panggilnya.

“Ya, Eommeoni?”

Ibu mendesis, lalu menyipitkan mata memperhatikan wajahku.

“Kenapa?”

“Kalau dilihat wajahmu mirip Ibu, ya...”

“Eh?”

“Pantas saja...”

“Pantas saja apanya?”

Ibu menarik napas, lalu duduk dipinggir ranjang, tetap menghadapku yang duduk dikursi belajar. “Tadi kau lihat gadis-gadis yang berkerumun didepan jendela?”

“Lihat. Murid baru biasanya selalu dapat perhatian begitu, kan? Paling seminggu juga mereda.”

“Bukan begitu... Ibu tadi dengar mereka bilang sesuatu seperti... 'Murid baru itu tampan, ya? Dia keren. Senyumnya manis, ya?' dan yang seperti itu, lah. Kau tidak dengar?”

“Aku dengar kok.”

“Lalu kenapa reaksimu biasa sekali? Kau tidak senang atau apa?”

“Memangnya Eommeoni senang?”

“Tentu saja! Putraku dibilang tampan... dan itu berkat Ibu yang cantik. Aaa~” Ibu menautkan kedua telapak tangannya didepan wajah dan memasang tatapan menerawang. Senyumnya mengembang lebar. Ibu sedang memuji dirinya sendiri, kah?

Aku mengerjap sekali. “Eommeoni, tapi tadi lihat anak tetangga seberang dikerumunan gadis-gadis didepan jendela?”

“Eh? Anak tetangga seberang yang mana?”

“Itu yang kemarin mengantar kotak kue.”

“Yang imut itu? Atau yang kau katai aneh?”

“Keduanya sama saja,”

“Oh, dia orang yang sama? Jadi dia sudah baikan denganmu? Tapi penampilannya waktu ikat rambut dan kacamatanya dilepas beda, ya.”

“Awalnya aku juga kaget. Tapi syukurlah dia ternyata gadis yang baik.”

“Hmm, syukurlah kalau begitu. Ibu tidak lihat dia tadi. Kenapa? Dia sekolah ditempat itu juga?”

Aku sedikit menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Jadi begini... eh bagaimana menjelaskannya, ya? Intinya aku sudah mengenalnya sebelum ini. Makanya saat gadis itu mendengar Eommeoni memanggil namaku dia agak kaget.”

“Eh? Bagaimana? Jelaskan pada Ibu.”

Kemudian, tawa Ibu meledak setelah aku menceritakan bagaimana aku bisa kenal dengan Akari dari awal.

“Suaranya lucu,” kata Ibu suatu ketika.

“Haha, benar. Suaranya kecil, agak cempreng. Waktu dia memaksa bicara agak keras jadinya... lucu,” tambahku.

Akhirnya sisa siangku dihabiskan dengan membicarakan Akari bersama Ibu.

***

“Akari-chan baru pulang sekolah?”

Aku menengok ke kanan kiri. Tidak ada siapapun. Tapi jelas sekali tadi aku mendengar suara Jungkook.

“Diatas.”

Aku lalu mendongak menatap anak laki-laki yang sedang tersenyum lebar dibalkon rumahnya. “Iya,” ucapku singkat, lantas berbalik hendak membuka pagar rumahku.

“Eh! Tunggu dulu!”

“Hm?” aku berbalik lagi.

Anak itu terlihat menggaruk bagian belakang kepalanya. “Bisa kesini sebentar? Aku ketinggalan pelajaran saat pindahan. Bantu aku menyesuaikan diri dengan pelajaran berbahasa Jepang. Ya?”

Kulirik arloji kecil yang melingkar dipergelangan tanganku. Baru pukul tiga lewat sepuluh menit. “Aku ganti baju dulu.”

Benar-benar. Aku mengalami hal berat sepanjang sore ini. Gadis-gadis dikelas mulai terlihat jaga jarak denganku. Semudah itukah mereka percaya gosip bodoh tanpa dasar seperti itu? Lagipula, usai makan siang Mayu juga tidak banyak bicara. Sepertinya dia tidak enak badan. Anak-anak itu... kalau sampai Mayu sakit karena gosip itu, mati kalian!

***

To be continued~

Holaaa, Olid disini. Gimana chapter 2 nya? Makin gaje, kah? ㅋㅋㅋ Aku update cepet karena FF ini sudah setengah jadi *aku nulis FF ini sejak pertengahan tahun lalu. Tapi banyak bagian yg aku revisi. Jadi ya... gitu deh. Udah mulai ada konflik kecil-kecilan dichapter ini. Myane, diriku tak pandai bikin FF. Oh iya, chapter 2 nya kepanjangan, kah? Aku ga kasi poster FFnya karena aku ga bisa bikin posternyaxD ada yang mau bikinin juga boleh wkwk..


Yang sudah berkunjung terima kasih banyak~ aku sangat menghargai keberadaan kalian, jadi tolong komentarnya ya;) do not be silent reader, OK? Thank U

Tidak ada komentar:

Posting Komentar