Title: Butterfly
Author: Olid
Casts: Jeon Jungkook, Takahashi Akari, and other.
Genre: Drama, School Life, Romance
“Will you stay by my side?
Will you promise me?
I’m afraid that if I let go of your hand, you’ll fly away,
you’ll shatter...”
[Peringatan: Bagi yang merasa waktunya berharga, disarankan
tidak membaca FF ga jelas ini karena akan membuang waktu. Terima kasih.]
Butterfly Chapter 5
“Saat kau pergi, aku menyadari satu hal. Sesuatu
disini terasa kosong. Terima kasih, kau sudah membuatku tersadar. Kau berharga
untukku.”
“Eummm es krimnya enak sekali!” Mayu menggumam sambil
terus menyuap es krim cokelat ke mulutnya. “Oh, Jeon. Tumben sekali kau mau
mentraktir kami. Ada apa?”
Dua gadis itu menatapku antusias.
Aku menggeleng. “Memangnya
perlu alasan untuk membuat teman-temanku tersenyum?”
Akari mengangkat bahu. “Yah,
kita anggap saja sebagai perayaan berakhirnya semester pertama. Gomawo, Jeon
Jungkook.” Mata gadis itu nampak melengkung dibalik kacamatanya. Bibir
kemerahan pudar mungilnya mengulas sebingkai senyum. Selalu seperti itu, Akari
tersenyum dengan bibir dan matanya.
“Kalian merayakan tahun baru
dimana?” tanya Mayu. Kulihat disudut bibirnya terdapat secuil es krim cokelat.
Akari mengambil tisu dan segera
mengelap sudut bibir Mayu. “Oh astaga Murakami Mayu… kira-kira apa yang akan dipikirkan
anak laki-laki melihat seorang gadis makan seperti ini…”
Mayu mengangkat bahu tak mau
tahu. “Siapa? Jeon Jungkook? Aku tak menganggapnya sebagai laki-laki.”
Eh? Barusan gadis itu bilang
apa?
“Dia terlalu imut untuk
dibilang laki-laki, bukankah begitu?” Mayu berujar sambil terkikik. Setelah itu,
ia menopangkan wajahnya pada sebelah tangan yang bertumpu di meja sambil
memainkan sendok es krimnya. “Lagipula, kau itu mantan pacarnya Akari.”
“Lalu kenapa?” tanyaku.
“Yah, rasanya janggal saja,”
jawab Mayu sambil menaikkan alis. “Sampai sekarang aku masih bingung dengan
kalian. Maksudku, biasanya kalau sepasang kekasih sudah putus, biasanya mereka
akan saling menghindar satu
sama lain. Kalau tidak begitu mereka akan saling mengatai, menyumpah,
bertengkar atau apalah. Tapi kalian? Sudah putus tapi masih jadi teman akrab
begini. Kan aneh,”
Akari sedikit melirikku dan
mengulum senyum.
“Yah, kurasa kami menemukan
kecocokan hanya sebagai teman. Bukankah begitu, Akari-chan?”
Yang kupanggil manggut-manggut
setuju. “Justru yang lebih aneh itu kau, musim dingin begini malah pesan es
krim.”
“Suka-suka dia sajalah,”
timpalku.
Sejak awal kedatangan kami, café yang berada diperempatan
jalan menuju sekolah kami ini memang terlihat tak mendapat
banyak pengunjung. Wajar saja, letak café ini tak terlalu menonjol. Begitu pula
dengan menunya, bagiku tak ada yang spesial. Hanya saja Akari dan Mayu begitu
menyukai suasananya. Mereka bilang suasana di café ini mengalirkan kehangatan. Entah
apa maksudnya, aku juga tidak mengerti. Yang jelas kedua gadis itu sangat
menggemari tempat duduk yang berada didepan jendela seperti yang sedang kami
tempati sekarang.
“Oh iya, kalian belum menjawab
pertanyaanku,” Mayu berujar suatu ketika. “Kalian mau kemana libur tahun baru
kali ini?”
Akari memiringkan kepala. “Libur
natal, yang benar. Aku dan keluarga mau ke rumah keluarga besar Ayahku di
Fukuoka. Mungkin sekalian merayakan tahun baru disana.”
“Aku sepertinya akan ke Korea,”
tambahku.
Mayu tersenyum kecut. “Sepertinya
cuma aku yang tidak kemana-mana.” Gadis itu lantas mengangkat bahu. “Lagipula
diantara keluargaku tidak ada yang benar-benar Kristen. Eh sudahlah. Ngomong-ngomong, kalian mau
melanjutkan sekolah kemana?”
Aku menatap kedua gadis
didepanku bergantian. Aku buta kalau urusan memilih sekolah disini. Untuk
semester ini saja rasanya sangat sulit untuk penyesuaian. Jangan suruh aku
untuk memilih sekolah sekarang.
“Kalau aku mau ke SMU Komatsu,” ujar Mayu tanpa
ditanya, yang dengan tiba-tiba
memperlihatkan tatapan ambisius.
“SMU Komatsu? Bukankah katanya
standar disana tinggi sekali?” tanya Akari.
Standar yang tinggi? Boleh
juga. Jika kedua gadis ini akan
masuk ke sekolah itu, akan akan kesana juga.
Kepala Mayu menggeleng ke
kanan dan ke kiri dengan cepat. “Bukan itu yang penting…” gadis itu lantas
sedikit memajukan badannya, memelankan suara. “Seberapa pun tingginya nilaimu,
kalau kau tidak lulus psyco-test, berarti kau tidak akan lolos.” Usai
berkata seperti itu, Mayu memundurkan badannya kembali.
“Psyco-test? Tes kejiwaan
maksudmu?” tanyaku.
“Yah, mungkin itu. Aku tidak
tahu apa artinya. Tapi yang jelas, kalau sesuatu dalam dirimu memenuhi
keinginan mereka, kau bisa lolos.” Mayu mengangguk mantap.
Aku beralih menatap Akari. “Kau
tahu apa yang dibicarakan gadis itu?”
Akari menggeleng. “Sudahlah.
Aku sendiri tidak tahu mau masuk mana.”
“Hei, mana bisa begitu?”
protes Mayu. “SMA yang kau pilih akan menentukan masa depanmu.”
“Hmm...
begini,” Akari mengambil oksigen lewat mulut, “Misalkan saja aku punya keinginan untuk sesuatu, tetapi aku tidak mendapat izin dari Ayah,
semuanya tidak berarti apa-apa. Ayah memegang kendali atas semuanya dikeluarga
kami. Jadi ya… bisa dibilang masa depanku ditentukan oleh Ayah,” jelas Akari.
“Ah iya, aku lupa Ayahmu. Oh,
kalau kau, Jeon?”
“Aku?” kuembuskan napas
panjang sebelum bicara. “Aku tidak tahu mau kemana. Tapi sepertinya SMU Komatsu
boleh juga.”
Usai membahas SMA, kedua gadis
didepanku asyik berceloteh tentang nail art. Baiklah, sepertinya jadi laki-laki
ditengah dua gadis tidaklah mudah. Kadang aku bingung harus menyahut apa dikala
mereka membahas sesuatu yang berbau perempuan. Dan akhirnya aku cuma akan jadi
obat nyamuk bagi mereka. Seperti saat menemani mereka belanja, aku yang
membawakan barang belanjaan, sedang
mereka asyik bicara tentang satu dan lain hal yang tidak terlalu aku mengerti.
Lalu saat menemani mereka ke salon, aku dengan sabarnya menunggu perawatan yang
mereka lakukan hingga tante-tante pedofil mulai menggodaku. Pokoknya jika kami
bertiga, akulah yang akan jadi korban. Tapi itu tak apa, dibanding kesenangan
yang aku dapatkan saat bersama Mayu dan Akari.
Sayangnya, kami bertiga harus
berpisah hingga menjelang musim semi.
***
“Liburanmu bagaimana?”
Aku mengangkat bahu atas jawaban dari anak laki-laki
yang sedang bicara padaku dari balkon rumahnya. Keluarga kami –kecuali Ayah–
baru saja pulang hari ini, dua hari sebelum kegiatan sekolah dimulai kembali.
Ayahku pulang duluan karena ada banyak pekerjaan yang harus beliau urus,
sedangkan Ibu mengambil cuti untuk menemani aku dan Ai liburan. Keluarga
Jungkook sepertinya sudah kembali kesini seminggu lalu.
“Lumayan... kau?” tanyaku.
Terlihat anak itu tengah mendesah berat diseberang
sana. “Tidak terlalu menyenangkan...”
“Pasti karena tidak ada aku, kan?” candaku.
Jungkook tertawa kecil. “Takahashi Akari, kalau saja
diluar sana tingkat percayadirimu seperti sekarang, aku yakin kau akan dapat
banyak teman.”
“Biarpun begitu belum tentu aku bisa cocok dengan
mereka,” bantahku.
Jungkook manggut-manggut saja. “Ah iya, aku beli
sepeda untukku sendiri. Jadi sekarang aku tidak perlu memboncengmu lagi.”
Kedua sudut bibirku tertarik kebawah secara refleks
usai mendengar perkataan Jungkook. “Kau sudah merdeka karena tidak perlu
memboncengku tiap hari... baiklah, baiklah. Sepertinya aku cuma beban untukmu,”
“Hei, bukan begitu...” sanggah Jungkook cepat. “Aku
beli sepeda bukan karena itu, tapi...”
“Tapi?”
Jungkook nampak menggaruk belakang kepalanya. “Ah
sudahlah, sebaiknya aku tidak perlu mengatakan ini.”
“Apa? Katakan saja...”
“Katakan? Hmm... tapi sebelumnya berjanjilah padaku
agar tidak menyembunyikan wajahmu atau berbalik kembali ke dalam. Bagaimana?”
“Mm hmm, baiklah. Jadi apa alasanmu beli sepeda?”
Jungkook berdeham pelan, tatapan matanya dialihkan ke
jalan dibawah. “Karena saat aku memboncengmu, aku tidak bisa melihat sesuatu.”
“Apa?”
“Wajahmu.”
Deg... deg...
Baiklah, Jeon Jungkook. Ini curang. Aku sekarang
memang tidak bisa melihat cermin, tapi aku sadar seperti apa ekspresi wajahku
sekarang. Dan ini sama sekali tidak bisa dikendalikan. Semerah apakah? Begitu
kentara, kah?
“Kenapa kau jarang menghubungiku selama liburan?”
tanya Jungkook, yang aku yakini sekarang sedang melihatku sambil menahan tawa.
Namun aku bahkan tak berani untuk hanya sekedar melempar pandangan padanya.
Baiklah, sepertinya anak itu bertanya untuk mendinginkan wajahku.
“Ayahku membatasi penggunaan ponsel dengan alasan
waktu keluarga,”
“Kau sepertinya anak yang patuh, ya...”
“Tidak juga,”
“Lalu kenapa kau tak mengambil ponselmu dan
menghubungiku?”
“Hm?”
“Memangnya kau tidak merindukanku?”
Mataku dengan takut-takut mencuri pandang kearah
Jungkook. Sebelumnya kukira ia akan melempar senyum nakal atau apalah karena
sudah berhasil menggodaku. Namun ternyata tidak ada hal-hal seperti itu
sekarang. Manik hitam teduhnya menatapku lembut, menungguku menjawab
pertanyaannya. Aku harus jawab apa?
“Kau pasti ingin aku menjawab ‘Iya, aku merindukanmu
Jeon Jungkook’. Tapi sayang sekali, jawabanku tidak,” jawabku dengan senyum
penuh kemenangan.
Anak diseberang sana tersenyum kecut. “Wah sayang
sekali... padahal aku sangat merindukanmu.”
Aku memaksa oksigen masuk walau tenggorokanku serasa
tercekat. Kenapa anak itu bisa begitu jujur? “Hentikan itu, Jeon Jungkook,”
gumamku lirih.
“Eh? Kau bilang apa?”
Aku menggeleng. “Aniya... amugeotdo.”
***
To be continued~
Chapter 5 selesai... wkwk, gimana? Jarang update
soalnya aku lagi sibuk persiapan buat study tour.
Yang ini juga lebih pendek dari yang kemaren2.
Posternya dibikin kapan-kapan ya~ masih gaada waktu buat itu kayaknya ><
Abisnya, aku pulang sekolah set. 5 sore, malamnya
habis maghrib jam tambahan lagi. Nyampe rumah jam set.10 malam. Belom lagi
ngerjain tugas sekolah, bantu2 ortu, belajar mandiri... *ahelah jadi curhatxD*
Tahun ini aku UN soalnya, try outnya udah dijadwalin sama sekolah :3 jadi
gabisa kalo ga belajar mandiri. Muehehe
Don’t be silent readers yeth? :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar